Selasa, 21 Januari 2014

contoh soal Hukum Tata Negara



Hukum Tata Negara

1.      A. Apakah presiden dapat membubarkan DPR, apabila DPR secara politik melakukan perlawanan atau pengawasan yg berlebihan terhadap pemerintah?TIDAK dapat. Kedudukan DPR adalah sama dengan kedudukan Presiden. DPR tidak dapat menurunkan presiden demikian pula presiden tidak dapat membubarkan DPR. Salah satu tugas DPR adalah melakukan pengawasan terhadap pemerintah dan apabila DPR menganggap pemerintah/presiden melakukan pelanggaran, DPR dapat meminta kepada MPR untuk melakukan sidang.
B. Perbedaan Pasal 1 ayat 2 UUD 1945 dalam hal pelaksanaan kedaulatan rakyat sebelum dan sesudah amandemen.
@sebelum = kedaulatan ditangan rakyat dilaksanakan oleh MPR(menggunakan perwkilan) oleh karena itu rakyat tidak secara langsung  ikut menentukan jalannya pemerintahan
@sesudah  =  Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan oleh rakyat sendiri menurut UU, jadi tidak diwakili oleh presiden.
2.      A. Fungsi wewenang dan kedudukan MPR.
Sedangkan tugas sebelum dan sesudah berbeda, yaitu: 
a.Sebelum:
1) Menetapkan Undang-Undang Dasar;
2) Menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara;
3) Memilih (dan mengangkat) presiden dan wakil Presiden.
b.Tugas sesudah amandemen:
1) Mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 (Pasal 3 ayat 1 Perubahan Ke III UUD 1945);
2) Melantik Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 3 ayat (2) Perubahan III dan IV UUD 1945);
3) Dapat memberhentikan Presiden dan atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD (Pasal 3 ayat 3 Perubahan ke III UUD 1945);
4) Memilih Presiden atau Wakil Presiden pengganti sampai terpilihnya Presiden dan atau Wakil Presiden sebagaimana mestinya (Pasal 8 ayat 3 Perubahan Keempat).
            B. Hubungan antara DPR,DPD dan Presiden dalam penyusunan APBN.
APBN diajukan oleh presiden kepada DPR dgn pertimbangan DPD artinya DPR mengawasi RAPBN yg dijalankan pemerintah secara tidak langsung karena melalui BPK yg kemudian hasil pengawasan dari BPK disampaikan kepada DPR,DPD,DPRD.
3. Hubungan antara DPR dgn Presiden.
a. Dalam hal pengawasan yaitu DPR mengawasi Presiden dalam hal penyelenggaraan pemerintah pusat, ada waktu 3 bulan utk pengawasan.
b. Dalam hal Pembuatan UU yaitu DPR bekerjasama dgn Presiden dalam pembuatan UU, serta presiden mengesahkan UU yg telah disetujui bersama yg kemudian menjadi UU.
4. A.RAPBN diajukan oleh Presiden utk dibahas bersama DPR dgn memperhatikan pertimbangan DPR. Apabila DPR tidak menyetujui RAPBN yg diajukan Presiden maka Pemerintah menjalankan APBN tahun lalu.
Secara umum tahapan dalam penyusunan APBN dapat dibagi menjadi 5 tahap.
Tahap I : Perencanaan dan penyusunan anggaran
Tahap II : Pengesahan Anggaran
Tahap III : Pelaksanaan Anggaran
Tahap IV : Kontrol/pengawasan
Tahap V : Pertanggung jawaban Anggaran
B. Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh
Undang-Undang ini ditentukan menjadi urusan Pemerintah.
a. politik luar negeri;
b. pertahanan;
c. keamanan;
d. yustisi;
e. moneter dan fiskal nasional; dan
f. agama.
.
5. A. Proses asas pemilu menurut Pasal 22 E UUD 1945.
1. Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum,bebas,rahasia,jujur dan adil setiap 5 tahun sekali.
2. Pemilu diselenggarakan utk memilih anggota DPR,DPD,Presiden dan Wapres dan DPRD.
3. Peserta pemilu utk memilih anggota  DPR dan anggota  DPRD  adalah Parpol.
4. Peserta pemilu utk memilih anggota DPD adalah perseorangan.
5. Pemilu diselenggarakan oleh KPU yg bersifat nasional,tetap dan  mandiri.
B. Teori yang mengajarkan pembagian kekuasaan : John Locke dan Montesquieu
John Locke Memisahkan kekuasaan menjadi 3:
a.       Legislatif (kekuasaan membuat UU)
b.      Eksekutif (kekuasaan melaksanakan UU)
c.       Federatif (kekuasaan mengenai perang, damai, membuat perserikatan dan aliansi serta segala tindakan dengan semua orang/ badan diluar negeri.
Montesquieu (mengembangkan pembagi kekuasaan dengan teori yg disebut Separation de Pauvoir/ Separation of power yang dikenal dengan istilah Trias Politica)
Menurutnya ada 3 jenis kekuasaan:
Kekuasaan legislatif ,Kekuasaan eksekutif, Kekuasaan Yudikatif
  Ketiga Kekuasaan tersebut terpisah satu sama lain baik mengenai tugas (fungsi) maupun alat perlengkapan (organ) yang melakukan.
  Tidak dibenarkan ada campur tangan, pengaruh mempengaruhi antar  kekuasaan yang satu dengan kekuasaan yang lain.
  Masing-masing kekuasaan menjalankan tugas dan fungsinya masing-masing.
  Jika ajaran Montesqueieu disebut pemisahan kekuasaan
Ajaran Montesqueieu tidak mungkin dilaksanakan, sebab negara merupakan suatu organisasi untuk mewujudkan tujuan bersama kehidupan bangsanya, maka memerlukan kerjasama antar organ-organ yang ada didalamnya. Jadi ajaran Trias Politica tidak dapat dilaksanakan secara murni
6. Karena Presiden memegang kekuasaan pemerintah. Tetapi
7.   a. UUD 1945 tidak menganut pemisahan kekuasaan secara murni.
b. UUD 1945 mengenal pula pembagian kekuasaan
c.UUD 1945 membagi kekuasaan tidak hanya pada tiga lembaga saja. Hal ini terbukti masih ada lembaga negara lainnya = MPR, BPK,MK,KY
d.Antara lembaga negara terjalin kerjasama dalam menjalankan fungsi dan tugasnya, sesuai dengan peraturan yang berlaku (DPR bersama dengan Presiden membentuk UU).

Asas Hukum Pidana




Asas-asas hukum pidana itu dapat digolongkan :
a.       Asas yg dirumuskan didalam KUHP atau perundang-undangan lainnya.
b.      Asas yg tidak dirumuskan dan menjadi asas hokum pidana yg tidak tertulis, dan dianut didalam Yurisprudensi.
Asas hukum pidana yg dirumuskan dalam perundang-undangan hukum pidana dibedakan menjadi tiga bagian yaitu :
a.       Asas berlakunya undang-undang hukum pidana menurut tempat, yang mempunyai arti penting bagi penentuan tenteng sampai dimana berlakunya hukum pidana suatu Negara itu berlaku,apabila terjadi perbuatan pidana.(Lex emporis delicti).
b.      Asas berlakunya undang-undang hukum pidana menurut waktu,yang mempunyai arti penting bagi penentuan saat kapan terjadinya perbuatan pidana.
c.       Asas berlakunya undang-undang hukum pidana menurut orang, sebagai pembuat atau peserta,yang mempunyai arti penting untuk terjadinya perbuatan pidana dan penuntutannya terhadap seseorang dalam suatu Negara maupun yang berada di luar wilayah Negara.
Pembagian tiga asas tersebut menurut tempat (grondgebied atau ruimtegebied), menurut waktu (tijdsgebied) dan menurut orang (personengebied). Yang lazim diikuti berdasarkan atas ajaran pembagian wilayah berlakunya suatu peraturan hukum. Akan tetapi lebih baik pembagian tersebut cukup hanya menjadi dua asas, yaitu asas berlakunya undang-undang hukum  pidana menurut tempat dan waktu saja. Hal ini disebabkan untuk lebih mudah menghadapi masalah lain dibidang hukum pidana yang sering dicampuradukkan yaitu tentang ajaran mengenai tempat dan waktu terjadinya delik/perbuatan pidana.
Ada beberapa  asas lain yang dikenal dalam ilmu pengetahuan hukum pidana, yaitu ;
a.       Alasan pembenar (rechtsvaardigingsgronden), yaitu menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, sehingga menjadi perbuatan yang benar.
b.      Alasan pemaaf (schulduitsluitingsgronden), yaitu menghapuskan sifat melawan hukum tetapi tidak pidana.
c.       Alasan penghapus penuntutan (onvervolgbaarheid), yaitu pernyataan tidak menuntut karena tidak dapat diterima oleh badan penuntut umum yang disebabkan konflik kepentingan dengan lebih mengutamakan kemanfaatannya untuk tidak menuntut (Mr.J.E.Jonkers 1946:169).

a)      Asas –asas Berlakunya Hukum Pidana Menurut Tempat
Asas berlakunya undang-undang hukum pidana menurut tempat, dapat dibedakan menjadi empat asas, yaitu: asas territorial (territorialiteitsbeginsel), asas personal (personaliteitsbeginsel), asas perlindungan atau nasional yang passif (bescermingsbeginsel atau passief nationaliteitsbeginsel), dan asas universal (universaliteitsbeginsel).
1.      Asas territorial (territorialiteitsbeginsel)
Dalam perundang-undangan Indonesia  berlaku bagi setiap orang yang melakukan perbuatan pidana di wilayah Indonesia. Asas territorial berarti perundang-undangan hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yg terjadi didalam wilayah Negara, yg dilakukan oleh setiap orang , baik sebagai warga Negara  maupun orang asing.
Asas territorial mempunyai dasar logika sebagai perwujudan ats kedaulatan Negara untuk mempertahankan ketertiban hukum  didalam wilayah Negara, dan kepada siapa saja yg melakukan perbuatan pidana berate orang itu melanggar ketertiban hukum itu. Dapat dikatakan pula bahwa asas territorialitas untuk berlakunya undang-undang hukum pidana merupakan asas yg prinsip sebagai dasar utama kedaulatan hukum , sedangkan asas-asas yg lain dipandang sebagai pengecualian yg bersifat perluasannya.
Batas wilayah Negara menurut hukum internasional meliputi daratan atau pulau-pulau yg mendapat pengakuan , perairan laut sepanjang pantai sejauh 3 mil (3 x 1851,50 meter = 5554,50 meter) dan udara diatas daratan termasuk perairan laut. Pengertian wilayah Negara dapat diperluas keluar wilayah Negara untuk kepentingan nasional aktif (personaliteitbeginsel atau actief nationaliteitbeginsel) dan kepentingan nasional passif (passiefnationalliteitbeginsel) atau  (beschermingsbeginsel), dan bagi asas nasional passif masih diperluas dengan universalitas. Dasar pemikiran yg terakhir ini kiranya sejalan dengan ajaran Negara hukum. Asas nasional aktif yg diatur dalam pasal 5-6 KUHP, dan dengan asas nasional passif yg diatur dalam pasal 4 ke-1,2,3, pasal 7-8 KUHP.
2.      Asas personal  (actief nationaliteit) yg terkandung dalam passal 5 KUHP dapat dibagi atas tiga golongan masalah yaitu :
a.       Pada ayat (1) ke-1 menentukan beberapa perbuatan pidana yg membahayakan kepentingan nasional bagi Indonesia ,dan perbuatan-perbuatan itu tidak dapat diharapkan dikenai pidana ataupun sungguh-sungguh untuk dituntut oleh undang-undang hukum pidana Negara asing, oleh karena pembuat deliknya adalah warga Negara Indonesia dan karena kurang perhatian terhadap kepentingan khusus Negara Indonesia, maka kepada setiap warga Negara Indonesia yang diluar wilayah Indonesia melakukan perbuatan pidana tertentu itu berlaku KUHP.
b.      Ayat (1) ke-2 memperluas ketentuan golongan pertama, dengan syarat-syarat bahwa  1) perbuatan-perbuatan yg terjadi harus merupakan kejahatan menurut ketentuan KUHP, dan 2) juga harus merupakan perbuatan yg diancam dengan pidana oleh undang-undang hukum pidana negara asing dimana perbuatan itu terjadi.
c.       Ayat (2) untuk menghadapi kejahatan yg dilakukan dengan perhitungan yg masak dan agar tidak lolos dari tuntutan hukum, yaitu apabila orang asing diluar negeri melakukan kejahatan (golongan kedua) dan sesudah itu melakukan naturalisasi menjadi warga Negara Indonesia, maka penuntutan atas kejahatan pasal  5 ayat (1) kedua masih dapat dilaksanakan.
            Pasal 6 KUHP “membatasi” ketentuan pasal 5 ayat (1) kedua agar tidak memberikan keputusan pidana mati terhadap terdakwa apabila undang-undang hukum pidana Negara asing tidak mengancam pidana mati, sebagai asas keseimbangan politik hukum. maksud diadakannya pasal 5 dan 6 KUHP itu untuk mengawasi warga Negara Indonesia agar di luar megeri tidak melakukan kejahatan, sehingga mempunyai titik berat asas personal. Akan tetapi dapat pula dikatakan pasal 5 dan 6 KUHP bermaksud menjamin kepentingan nasional Indonesia atas perbuatan warganegara yg tidak bertanggung jawab , dengan menitikberatkan asas nasional yg aktif. Menurut Pompe pasal ini adalah asas personal. Karena dengan asas territorial masih belum cukup memberikan perlindungan atas kepentingan nasional.
3.      Asas nasional passif
      Adalah asas yg menyatakan berlakunya undang-undang hukum pidana Indonesia di luar wilayah Negara bagi setiap orang, warga Negara atau orang asing yg melanggar kepentingan hukum Indonesia, atau melakukan perbuatan pidana yg membahayakan kepentingan nasional Indonesia di luar negeri. Titik berat asas ini ditujukan kepada perlindungan kepentingan (nasional) yg dibahayakan oleh perbuatan pidana yg dilakukan seseorang di luar negeri, sehingga asas yg demikian ini juga dapat disebut asas perlindungan.
4.      Asas Universal
      Adalah asas yg menyatakan setiap orang yg melakukan perbuatan pidana dapat dituntut undang-undang hukum pidana Indonesia di luar wilayah Negara untuk kepentingan hukum bagi seluruh dunia. Namun tidak mungkin semua kepentingan hukum di dunia akan mendapat perlindungan, melainkan hanya untuk kejahatan yg menyangkut tentang keuangan dan pelayaran. Pasal 4 ke-2 kalimat pertama dan ke-4  KUHP mengandung asas universal yg melindungi kepentingan hukum dunia terhadap kejahatan dalam mata uang atau uang kertas dan pembajakan laut, yg dilakukan oleh setiap orang, dan dimana saja dilakukan.
      Lalu dapat disimpulkan dari ketentuan pasal 4-8 KUHP yg bermaksud mengatur secara terperinci atas perbuatan pidana tertentu dan dapat diberlakukan di luar wilayah Indonesia, ternyata penyusunannya tidak sistematis sehingga timbul kontradiksi didalam isinya.Pada dasarnya dapat dimengerti adanya jalan pikiran bahwa masih dirasakan kurang sempurna atas jaminan hokum bagi kepentingan bangsa dan Negara hanya dengan asas territorial saja, melainkan harus diperluas lagi dengan asas nasional yg aktif, asas nasional yg passif,dan asas universal, yg dipakai sebagai dasar berlakunya perundang-undangan hukum pidana. Dalam hal ini perlu diadakan pilihan mana yg lebih baik, mengatur asas-asas berlakunya undang-undang hukum pidana dengan dirumuskan secara umum ataukah dirumuskan dengan terperinci, yg kedua-duanya mempunyai kelemahan terhadap kedaulatan hukum Negara asing. Bagi orang-orang penting dari suatu Negara  kiranya masih perlu pertimbangan adanya privilege ketika secara resmi ketika berada di Negara asing, dan kepada mereka itu berlaku pengecualian hukum atas dasar:
a.       Asas personal penuh masih tetap berlaku terhadap orang-orang penting itu yg membawa hukum dari Negara asalnya, karena yg penting atas perbuatan itu ada hukum yg menuntutnya.
b.      Asas opportunitas yg diperluas, terhadap orang-orang penting itu yg akan lebih menguntungkan (utilitas) untuk tidak dituntut, karena menjaga hubungan antarnegara.
              Apabila ditinjau dari keseluruhan aturan umum yg disebut didalam pasal 1 dan 2-8 KUHP seyogyanya diartikan sebagai syarat berlakunya undang-undang hukum pidana maupun syarat penentuan untuk penuntutan, karena tidak mungkin ada artinya peraturan hukum pidana berlaku tanpa ada penuntutan, demikian pula tidak mungkin terjadi penuntutan tanpa lebih dulu adanya peraturan hukum pidana yg berlaku, sehingga kedua-duanya saling berhubungan dalam hukum pidana.
              Pengecualian dari peraturan hukum Negara terdiri atas:
a.       Asas immunitas terhadap Raja dan Anggota Parlemen.
b.      Asas penghapusan penuntutan terhadap orang-orang tertentu yg melakukan delik harta kekayaan (vermogensdelicten) dan orang-orang tertentu yg melakukan delik pers (drukpersdelicten).Kedua asas ini lebih mendekati arti pengecualian penuntutan daripada arti pengecualian hukum, sehingga kepada orang-orang tersebut ada penghapusan penuntutan.
Pengecualian dari peraturan hukum  internasional terdiri atas:
a.       Exterritorial yg diartikan bahwa hukum sesuatu Negara tidak berlaku bagi seseorang tertentu dari Negara asing, dan diperuntukan bagi Duta Negara Asing, para Konsul menurut perjanjian, Kepala Negara Asing dengan keluarganya.
b.      Exterritorial yg diartikan sebagai wilayah Negara asing yg berada dalam suatu Negara, seperti Kapal Perang Asing termasuk anak buahnya dan Tentara Negara Asing yg berpangkalan di suatu Negara karena persetujuan.
b). Asas Berlakunya Hukum Pidana Menurut Waktu
              Sumber utama tentang berlakunya undang-undang hukum pidana menurut waktu, tersimpul di dalam pasal ayat (1) KUHP. Banyak pengertian yg dapat diberikan kepada pasal 1 ayat (1) KUHP antara lain:
a)      Mempunyai makna”nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali”, tiada delik, tiada pidana, tanpa peraturan yg mengancam pidana lebih dahulu. (sifat umum adagium di dalam hukum pidana).
b)      Mempunyai makna “undang-undang hukum pidana tidak mempunyai kekuatan berlaku surut”(Mr. J.E.Jonkers 1946:37).
c)      Mempunyai makna “lex temporis delicti”, yg artinya undang-undang berlaku terhadap delik yg terjadi pada saat itu.(Mr.D.H.Suringa 1968:305).
              Sepanjang sejarah dari perkembangan hukum pidana dengan segala faktor-faktor yg mempengaruhi, kiranya dapat disusun empat macam sifat ajaran yg dikandung oleh asas legalitas:
a.       Asas legalitas hukum pidana, yg mendasarkan titik berat pada perlindungan individu untuk memperoleh kepastian persamaan hukum (rechtszekerheid en rechtsgelijkheid) terhadap penguasa agar tidak sewenang-wenang, Adagium oleh ajaran ini, menurut G.W.Paton dinamakan “nulla poena sine lege”, sedangkan menurut L.B.Curzon dinamakan “nullum crimen sine lege”. Perlindungan individu diwujudkan adanya keharusan dibuat undang-undang lebih dahulu, untuk menentukan perbuatan pidana ataupun pemidanaan.
b.      Asas legalitas hukum pidana, yg mendasarkan pada titik berat pada dasar dan tujuan pemidanaan agar dengan sanksi pidana itu, hukum pidana bermanfaat bagi masyarakat serta tidak ada pelanggaran hukum yg dilakukan oleh anggota masyarakat, karena itu masyarakat harus mengetahui lebih dahulu rumusan peraturan yg memuat tentang perbuatan pidana dan ancaman pidananya. Adagium yg dipakai oleh ajaran ini dicetuskan Von Feuerbach yg dinamakan “nullum delictum nulla poena sine praevia lege”matau menurut tulisan V.Bemmelen dinamakan “Nullum crimen nulla poena sine praevia lege poenali”.
c.       Asas hokum pidana, yg mendasarkan titik berat pada dua unsure yg sama pentingnya, yaitu bahwa yg diatur oleh hukum pidana tidak hanya memuat ketentuan tentang hukum pidana saja agar orang mau menghindari perbuatan itu, tetapi juga harus diatur mengenai ancaman pidananya agar penguasa tidak sewenang-wenang dalam menjatuhkan pidana. Didalam ajaran ini terdapat filsafah keseimbangan antara pembatasan hukum bagi rakyat dan penguasa. Adagium dalam ajaran ini berpangkal dari Von Feuerbach yg disusun kembali menjadi tiga postulat oleh Van Der Donk dengan nama “Rondom den regel-nulla poena sine lege, nulla poena sine crimine,nullum crimen sine poena legali”.
d.      Asas legalitas hukum pidana, yg mendasarkan titik berat pada perlindungan hukum lebih utama kepada Negara dan masyarakat daripada kepentingan individu, dengan pokok pikiran tertuju pada “a crime is a socially dangerous act of commission or omission as prescribed in criminal law”. Pada ajaran ini asas legalitas diberikan cirri,bukan perlindungan individu akan tetapi kepada Negara dan masyarakat, bukan kejahatan yg ditetapkan oleh undang-undang saja akan tetapi menurut ketentuan hukum berdasarkan ukuran membahayakan masyarakat, oleh karena itu tidak mungkin ada perbuatan jahat itu yg timbul kemudian dapat meloloskan diri dari tuntutan hukum. Adagium yg dipakai ajaran ini menurut G.W. Paton dinamakan “nullum crimen sine poena”.
        Penafsiran analogi yaitu penerapan aturan hukum pidana secara konkrit terhadap suatu kejadian, yg unsur perbuatannya semula tidak tercakup didalam aturan hukum pidana ketika dibuat, akan tetapi karena dipandang perlu unsure perbuatan baru tersebut dinyatakan memenuhi syarat melanggar aturan hukum pidana. Untuk dapat mendukung diterimanya analogi didalam hukum pidana, yg mendasarkan pada pokok pikiran:
a.       Dengan membuat perbandingan bekerjanya penafsiran, dianggap analogi tidak berbeda dengan penafsiran ekstensif.
b.      Dengan mengadakan pemisahan jalan pikiran analogi yg dibedakan menjadi empat versi:
1)      Penafsiran analogi yg menentukan sesuatu perbuatan pidana baru.
2)      Penafsiran analogi untuk menentukan pemberatan ancaman pidana saja.
3)      Penafsiran analogi untuk menentukan perluasan penuntutan.
4)      Penafsiran analogi untuk menentukan penghapusan pidana yg bersifat meringankan.
              Dari uraian asas legalitas diatas dapat disimpulkan bahwa asas legalitas mengandung tiga masalah yg prinsipil yaitu:
a.       Pada dasarnya peraturan hukum pidana tidak berlaku surut, namun didalam praktik dapat terjadi sebaliknya.
b.      Pada dasrnya dalam menentukan perbuatan pidana harus lebih dahulu dinyatakan dengan peraturan dalam undang-undang dan berlaku secara umum, namun tidak mudah persoalannya apabila rumusan undang-undang tidak lengkap, sehingga dimana perlu berpegang kepada hokum yg pengertiannya lebih luas.
c.       Pada dasarnya untuk penerapan peraturan hukum pidana inkonkrito tidak boleh dipergunakan analogi, namun dalam perkembangan dari cara berfikir yg lebih maju dan mempunyai alasan yg kuat atas timbulnya kejadian konkrit yg berbahaya bagi kepentingan umum maka dapat dimungkinkan analogi, (Pompe hanya mengakui prinsip a dan b saja).

              Pembentuk undang-undang telah menetapkan pengecualiannya pasal 1 ayat (1) KUHP di dalam pasal 1 ayat (2) KUHP yang mempunyai dua ketentuan pokok yaitu:
a.       Sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam perundang-undangan.
b.      Dipakai aturan yang peling meringankan/menguntungkan
              Ketentuan di dalam pasal 1 ayat (2) KUHP itu banyak menimbulkan masalah, sehingga perlu ditinjau kembali atas kemanfaatan dari hokum peralihan yang perumusannya seperti itu, ataukah ditiadakan samasekali dengan pertimbangan bahwa:
a.       Tidak ada hokum yang berdiri sendiri tanpa pengaruh dari lapangan hokum yang lain sehingga hokum pidana akan tetap memperhatikan perkembangan hokum pada umumnya, bahkan lapangan ilmu yang lain.
b.      Dasar perubahan undang-unadang yang baru adalah karena perubahan perasaan/keyakinan/kesadarn hokum rakyat, yang melalui badan pembentuk undang-undang mengadakan undang-undang baru,untuk perbuatan pidana yang terjadi kemudian, sehingga perubahan undang-undang yang karena sifatnya berlaku sementara tidak termasuk perubahan disini.
c.       Perubahan undang-undang baru yang menyangkut berat atau ringannya ancaman pidana tidak akan mempunyai arti, karena di dalam praktiknya hakim tetap memegang asas kebebasan di dalam menjatuhkan pidana yang di ancamkan.
d.       Di dalam perkembangan pembentukan undang-undang baru karena kemajuan teknik perundang-undangan, jarang sekali merupakan pedoman pelaksanaan di dalam aturan penutup yang memuat cara dan saat berlakunya undang-undang yang bersangkutan.
e.       Asas lex temporis delicti yang berlaku secara tertulis maupun tidak tertulis sudah menjadi asas yang menjamin kepastian hokum serta keadilan hokum.
              Maksud rumusan kalimat perubahan undang-undang ditafsirkan menjadi beberapa pendapat yaitu:
a.       “perubahan” undang-undang dalam arti undang-undang hokum pidana saja (formeele opvatting).
b.      “perubahan” dalam arti mencakup undang-undang di luar undang-undang hokum pidana yang berkaitan (materiele opvatting).
c.       “perubahan”undang-undangdalam arti suatu perubahan perasaan/keyakinan/kesadaran hukum yang ada dalam pembentuk undang-undang (beperkte materiele leer).
d.        “perubahan” perasaan hokum maupun perubahan keadaan karena waktu (onbeperkete materiele leer).
Pemakaian istilah “dipakai aturan yang paling ringan bagi terdakwa” juga masih menimbulkan persoalan yaitu:
a.       Karena dipergunakan kata “terdakwa” konsekuensinnya adalah bahwa selama keputusan pengadilan belum menjadi keputusan tetap (kracht vangewijsde), maka ketentuan pasal 1 ayat (2) KUHP masih dapat dipergunakan untuk perkara yang dimajukan dalam tingkat verzet dan banding, sedangkan untuk perkara yang dimajukan pada tingkat kasasi mengalami kesukaran berhubung dengan syatar-syarat beracaranya berlainan dengan verzet dan banding.
b.      Karena dipergunakan kata “aturan” yang paling ringan bagi terdakwa, dan tidak mempergunakan undang-undang yang paling ringan, hal itu berarti menyempit hanyalah menunjuk kepada ketentuan yang tertentu saja, sehingga bila perlu (?) dimungkinkan adanya beberapa ketentuan yang ringan yang diambil dari undang-undang yang baru maupun yang lama karena kedua-duanya menguntungkan bagi terdakwa.

A.    Asas- Asas yang Tidak Tertulis dalam Hukum Pidana
      Asas yg tidak tertulis atau tidak dirumuskan dengan tegas dalam KUHP akan tetapi telah dianggap berlaku di dalam praktik  hukum pidana yaitu:
a.       Tidak dipidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld).
b.      Alasan pembenar (rechtsvaardigingsgronden).
c.       Alasan pemaaf (schulduitsluitingsgronden).
d.      Alasan penghapus penuntutan (onvervolgbaarheid).
B.     Kedudukan Asas Hukum Tidak Tertulis dalam Praktik Hukum Pidana di Pengadilan.
      Isi pasal 44 KUHP yg menentukan tentang tidak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan yg tidak dapat “dipertanggungjawabkan” kepadanya, disebabkan karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau terganggu karena penyakit
      Mengenai kedudukan norma hukum di luar Undang-undang ini ada dua pandangan yaitu:
a.       Bahwa hakim harus melaksanakan undang-undang, kecuali apabila suatu ketentuan dari undang-undang  memberikan ketegasan untuk tidak perlu dijalankan atau boleh menyimpang dan apabila tidak ada ketegasan demikian terhadap hal-hal baru yg timbul kemudian sebagai perubahan hukum harus ditempuh jalan dengan memperbanyakdengan undang-undang baru.
b.      Bahwa hakim pada waktu menjalankan tugas untuk keadilan, tidak hanya mempertimbangkan aturan undang-undang, akan tetapi dapat menjalankan asas hukum tidak tertulis yg menjadi dasar isi  keputusannya meskipun hal itu tidak dengan tegas tercantum dalam undang-undang.