Selasa, 21 Januari 2014

KEDUDUKAN HUKUM ISLAM DALAM NEGARA REPUBLIK INDONESIA



KEDUDUKAN HUKUM ISLAM DALAM NEGARA REPUBLIK INDONESIA
Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari dan merupakan bagian agama Islam. Hukum Islam dasarnya ditetapkan oleh Allah melalui wahyu Nya yang  dijelaskan oleh nabi Muhammad saw sebagai rasulNya melalui sunnah beliau, dasar inilah yang membedakan hukum Islam secara fundamental dengan hukum yang lain yang semata-mata lahir dari kebiasaan hasil pemikiran atau buatan manusia belaka.
Kedudukan hukum Islam dalam negara RI, tidak hanya secara umum ada dalam pasal 20 atau 24 UUD 1945  (disamping hukum-hukum lainnya). Tetapi secara khusus tercantum dalam pasal 29 ayat (1) UUD 1945, di dalam pasal ini jelas disebutkan bahwa negara berdasar atas ketuhanan yang maha esa, menurut almarhum Prof. Hazairin, kaidah fundamental dalam pasal 29 ayat (1) dapat ditafsirkan dalam enam kemungkinan, tiga diantaranya yang relevan dengan pembicaraan ini, intinya adalah :
  1. Negara Indonesia tidak boleh ada atau tidak boleh berlaku hukum yang bertentangan dengan kaidah-kaidah agama yang berlaku bagi pemeluk agama di tanah air kita
  2. Negara wajib menjalankan syariat semua agama yang berlaku di Indonesia, kalau untuk menjalankan syariat itu memerlukan bantuan kekuasaan negara. Artinya adalah negara berkewajiban menjalankan syariat agama untuk kepentingan pemeluk agama yang diakui keberadaannya dalam negara RI ini.
  3. Syariat yang tidak memerlukan kekuasaan negara untuk melaksanakannya karena dapat dijalankan sendiri oleh setiap pemeluk agama yang bersangkutan (seperti shalat dan puasa bagi umat Islam) menjadi kewajiban pribadi pemeluk agama itu sendiri untuk menjalankan menurut ketentuan agamanya masing-masing.
·         Kedudukan Hukum Islam Setelah Amandemen UUD 1945
Oleh karena “Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Pertama, KEdua, Ketiga dan Keempat ini adalah Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang ditetapkan pada 18 Agustus 1945 dan diberlakukan kembali dengan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 serta dikukuhkan secara aklamasi pada tanggal 22 Juli 1959 oleh Dewan Perwakilan Rakyat”. Maka undang-undang No.1 th 1974, UU No.7 th 1989, Kompilasi Hukum Islam, UU No.35 th 1999 dan UU No.44 th 1999 masih tetap berlaku. Apalagi aturan peralihan UUD 1945 pasal 1 telah menetapkan : “segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini”

PELAKSANAAN HUKUM ISLAM
Pelaksanaan hukum Islam di Indonesia dilakukan melalui berbagai jalur
  1. Jalur pertama adalah jalur iman dan takwa, melalui jalur ini pemeluk agama Islam dalam negara Republik Indonesia ini  dapat melaksanakan hukum Islam yang merupakan bagian dan berasal dari agama Islam itu, yang di maksud dalam kaitan ini adalah hukum Islam  bidang ibadah
  2. Jalur kedua yaitu jalur peraturan perundang-undangan
  3. Pelaksanaan hukum Islam bidang muamalah
  4. Melalui BAMUI (badan Arbitrase Muamalah Indonesia) yang didirikan oleh Majelis Ulama Indonesia (MU) pusat ini para pengusaha, pedagang dan industriawan atas kesepakatan bersama dapat memilih hukum Islam untuk menyelesaikan sengketa mereka secara damai (di luar pengadilan)
  5. Jalur kelima melaksanakan dalam makna menerapkan hukum Islam dilakukan oleh lembaga pusat penelitian obat/kosmetik dan makanan (LPPOM) yang juga didirikan oleh Majelis Ulama Indonesia. Lembaga ini menentukan apakah suatu produk obat-obatan, kosmetik, makanan, minuman halal atau haram di konsumsi (dimakan) oleh umat Islam. Penentuan halal haram suatu produk pangan, kelak akan dicantumkan yang dalam undang-undang pangan Republik Indonesia.
  6. Jalur keenam yaitu jalur pembinaan atau pembangunan hukum nasional melalui jalur ini unsur-unsur (asas dan norma) hukum Islam akan berlaku dan dilaksanakan bukan hanya bagi dan oleh umat Islam. Tetapi juga oleh penduduk Indonesia, terutama oleh warga negara RI.
Sekuler, Sekulerisme dan Sekulerisasi
Kata sekuler bisa dipahami sebagai kata sifat atau kata benda. Sekuler dalam konteks kata sifat adalah sesuatu yang terkait dengan dunia atau duniawi, sedangkan sekuler dalam konteks kata benda mempunyai arti masa atau periode panjang.
Sekuler  dalam sudut pandang wacana kekinian dipahami sebagai kata sifat. Sekuler adalah sesuatu yang terkait dengan dunia dan sama sekali tidak bersentuhan dengan unsur agama dan tradisi. Sebagaimana disinggung Luke Ebersol, sekuler dalam konteks ilmu sosial adalah sesuatu yang hanya terkait dengan dunia, dan karenanya, bertentangan dengan unsur spritual. Ia juga menambahkan, sekuler tidak hanya bertentangan dengan unsur spritual, tapi juga berseberangan dengan kesakralan. Pernyataan kedua Ebersol ini mendukung Howard Becker dalam memandang pengertian sekuler. Howard Becker mengatakan, “Sekuler mencakup pengertian tidak sakral, kafir, tidak bertuhan, tidak beragama, tidak beriman dan lain-lain. Akan tetapi, makna setiap kata tadi tidak bisa dijadikan sebagai sinonim satu sama lain”.
Ia menyatakan secara tegas, bahwa sekuler berlawanan dengan semua unsur sakral. Oleh karena itu, masih menurut Howard, segala bentuk budaya yang bernuansa sekuler selalu lebih cenderung pada basis kapital.
Terminologi sekuler berbeda dengan sekulerisme. Terminologi sekulerisme sudah dipahami sebagai sistem yang berbasis pada filsafat atau sosial. Pengetian sekulerisme tetap tidak meninggalkan warna aslinya yang selalu mengarah pada “murni dunia” atau berseberangan dengan unsur-unsur agama. George Jacob Helyoake mengatakan, sekulerisme adalah sebuah pergerakan yang bertujuan untuk membentuk perilaku manusia yang tidak mempedulikan Tuhan dan akherat. Sepanjang sejarah, antara agama dan sekulerisme masing-masing saling bertentangan satu dengan yang lainnya. Pertentangan tersebut semakin meningkat setelah tibanya Renaissance. Perkembangan agama diidentikkan dengan kehancuran sekulerisme dan perkembangan sekulerisme diidentikkan dengan kehancuran agama. Brain Roulson juga menegaskan, sekulerisme adalah sebuah ideologi yang menolak segala unsur metafisik serta memposisikan nonagama sebagai landasan perilaku individu dan sosial.
Penjelasan atas pengertian sekulerisme dapat disimpulkan melalui kalimat  berikut. Seorang sekuler dengan lantang akan menyatakan bahwa Tuhan atau agama tidak ada. Seandainyapun Tuhan atau agama itu diasumsikan ada, keduanya dipastikan tidak dapat berperan dalam menangani kehidupan manusia, baik dari sisi teoritis maupun dari sisi praktis (fudzuluun mutawaqifun).
Di samping sekuler dan sekulerisme, terdapat pengertian lain yang masih berada dalam satu rangkaian kata keduanya, yaitu sekulerisasi. Pengertian sekulerisasi berbeda dengan sekuler dan sekulerisme. Sekulerisasi juga tidak meninggalkan makna asli sekuler. Sekulerisasi secara bahasa dan istilah mempunyai makna yang sama. Sekulerisasi adalah mengarahkan segala sesuatu menuju dunia atau menduniakan.  Muhammad Nagib Alatas mengatakan, sekulerisasi adalah pelepasan pandangan manusia yang diserap dari sumber agama atau semi agama.
Produk undang-undang yang berbasis agama
Setelah berlaku UUD 1945, Hukum Islam berlaku bagi bangsa Indonesia yang beragama Islam karena kedudukan Hukum Islam itu sendiri, bukan karena ia telah diterima oleh Hukum Adat. Pasal 29 UUD 1945 mengenai agama menetapkan :

(1)  Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa;
(2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.

Selama 14 tahun dari tanggal 22 Juni 1945 (waktu ditandatanganinya gentlement agreement antara pemimpin nasionalis dan pemimpin Islam sampai tanggal 5 Juli 1959, sebelum Dekrit Presiden diundangkan), kedudukan hukum ketentuan “kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya adalah persuasive source. Sebagaimana semua hasi sidang-sidang Badan Penyelidik Kemerdekaan Indonesia adalah sumber persuasif bagi penafsiran UUD 1945, maka Piagam Jakarta sebagai salah satu hasil sidang Badan Penyelidik Kemerdekaan Indonesia juga merupakan sumber persuasif dari UUD 1945 (2).

Penerimaan Hukum Islam Sebagai Sumber Otoritatif

Barulah dengan ditetapkannya Piagam Jakarta dalam Dekrit Presiden RI 5 Juli 1959, penerimaan Hukum Islam telah menjadi sumber otoritatif (authoritative source) dalam hukum tata Negara Indonesia, bukan sekedar sumber persuasif (persuasive source).

Untuk mengetahui dasar hukum Piagam Jakarta dalam konsiderans Dekrit 5 Juli 1959, perlu dipelajari dasar hukum pembukaan atau preambule dalam suatu konstitusi dan konsiderans atau pertimbangan dari suatu perundang-undangan.

Sebagaimana kita ketahui, Piagam Jakarta itu semula merupakan pembukaan dari rencana UUD 1945 yang dibuat oleh Badan Penyelidik Kemerdekaan Indonesia, kemudian dalam konsiderans Dekrit Presiden RI ditetapkan :

“Bahwa kami berkeyakinan Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dalam konstitusi tersebut”.

Menurut hukum tata negara Indonesia, preambule atau konsideran , bahkan penjelasan peraturan perundangan, mempunyai kedudukan hukum. Preambule dan penjelasan UUD adalah rangkaian kesatuan dari suatu konstitusi. Begitu pula konsiderans dan penjelasan peraturan perundang-undangan adalah bagian integral dari suatu peraturan perundangan. Pendapat di atas itu, sebelum adanya UU No.3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan GOlongan Karya, semata-mata merupakan pendapat saya sebagai Sarjana Hukum. Dengan penjelasan pasal demi pasal dari pasal 3 UU No.3 tahun 1975 dijelaskan :

“(1) Yang dimaksud dengan Undang-Undang Dasar 1945 dalam huruf a pasal ini meliputi Pembukaan, Batang Tubuh dan Penjelasannya”.

Dengan demikian, maka preambule atau konsiderans dan penjelasan dari UUD 1945 dan peraturan perundangan seperti Dekrit itu mempunyai kekuatan hukum.
Dekrit Presiden RI 5 Juli 1959 itu, selain merupakan Piagam Jakarta di konsiderannya, diktumnya “menetapkan Undang-undang Dasar 1945 berlaku lagi”. Dengan demikian dasar hukum Piagam Jakarta (dalam konsideran) dan dasar hukum Undang-Undang Dasar 1945 (dalam diktum) ditetapkan dalam satu peraturan perundang-undangan yang dinamakan Dekrit Presiden. KEduanya menurut hukum tata negara Indonesia mempunyai kedudukan hukum yang sama.

Dengan demikian Presiden RI berkeyakinan, (jadi bukan hanya Ir.Soekarno pribadi), bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dalam konstitusi tersebut. Karena perbedaan Piagam Jakarta dengan Pembukaan UUD 1945 hanyalah tujuh kata “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, maka berarti bahwa ketujuh kata itulah yang menjiwai UUD 1945 dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dalam UUD 1945 itu.

Kata “menjiwai” secara negatif berarti tidak boleh dibuat peraturan perundangan dalam negara RI yang bertentangan dengan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Dan secara positif berarti bahwa pemeluk-pemeluk Islam diwajibkan menjalankan syariat Islam. Untuk itu harus dibuat Undang-undang yang akan memberlakukan Hukum Islam dalam Hukum Nasional. Pendapat ini sesuai dengan keterangan Perdana Menteri Djuanda pada tahun 1959 :

“Pengakuan adanya Piagam Jakarta sebagai dokumen historis bagi pemerintah berarti pengakuan pula akan pengaruhnya terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Jadi pengakuan tersebut tidak mengenai Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 saja, tetapi juga mengenai pasal 29 Undang Undang Dasar 1945, pasal mana selanjutnya harus menjadi dasar bagi kehidupan hukum di bidang keagamaan (3)”

Di bidang jurisprudensi dengan Keputusan-keputusan Mahkamah Agung sejak tahun 1959 telah diciptakan beberapa keputusan dalam bidang Hukum Waris Nasional menurut sistem bilateral secara judge made law. Di sini terlihat bahwa di bidang hukum waris, Hukum Waris Nasional yang bilateral lebih mendekati Hukum Islam dari Hukum Adat (4).

UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Politik hukum memberlakukan Hukum Islam bagi pemeluk-pemeluknya oleh Pemerintah Orde Baru dibuktikan dengan Undang-Undang No.1/1974 tentang Perkawinan, Pasal 2 UU itu mengundangkan, “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya ” Pasal 63 UU Perkawinan mengundangkan bahwa yang dimaksud dengan pengadilan dalam undang-undang ini adalah Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam dan Pengadilan Umum bagi yang lainnya.

Dengan UU NO.1/1974 Pemerintah dan DPR memberlakukan Hukum Islam bagi pemeluk-pemeluk Islam dan menegaskan Pengadilan Agama berlaku bagi mereka yang beragama Islam.

UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama

Pasal 2 Undang-undang tentang Peradilan Agama mengundangkan : “Peradilan agama merupakan salah satu pelaksanaan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam, mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam Undang-undang ini.” Sedangkan, pasal 49 mengundangkan kekuasaan pengadilan dengan : “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang, memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang ; (a) Perkawinan; (b) Kewarisan, wasiat dan hibah, yang dilakukan berdasar Hukum Islam; dan (c) wakaf dan shadaqah (5)

·         KOMPILASI HUKUM ISLAM

Pada 10 Juni 1991 Presiden Republik Indonesia menandatangani Instruksi Presiden RI No.1 Tahun 1991. Dalam konsideran “Menimbang” pada INpres tersebut, ditetapkan :

a. Bahwa para alim ulama Indonesia dalam lokakarya yang diadakan di Jakarta pada 2 s/d 5 Februari 1998 telah menerima baik rancangan buku Kompilasi Hukum Islam, yaitu Buku I tentang Hukum Perkawinan, Buku II tentang Hukum Kewarisan dan Buku III tentang Perwakafan
b. Bahwa komplikasi Hukum Islam tersebut dalam huruf (a) oleh instansi pemerintah dan masyarakat yang memerlukan dapat digunakan sebagai pedoman dalam menyelesaikan masalah-masalah di bidang tersebut.
c. Bahwa oleh karena itu Kompilasi Hukum Islam tersebut dalam huruf (a) perlu disebarluaskan.

Dalam konsideran “Mengingat”, sebagai dasar dari Inpres itu, disebutkan “Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945”. Kemudian diktum menyebutkan :

“Menginstruksikan kepada Menteri Agama untuk; Pertama: menyebarluaskan kompilasi Hukum Islam yang terdiri dari :
a. Buku I tentang Hukum Perkawinan
b. Buku II tentang Hukum Kewarisan
c. Buku III tentang Hukum Perwakafan sebagaimana telah diterima baik oleh alim ulama Indonesia dalam lokakarya di Jakarta pada 2 s/dd 5 Februari 1988, untuk digunakan oleh Instansi Pemerintah dan oleh masyarakat yang memerlukannya.

Oleh karena sudah jelas bahwa dalam bidang perkawinan, kewarisan dan wakaf bagi pemeluk-pemeluk Islam telah ditetapkan Undang-Undang yang berlaku adalah Hukum Islam (pasal 49 UU No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama), maka kompilasi Hukum Islam yang memuat hukum materiilnya itu dapat ditetapkan oleh Keputusan Presiden/Instruksi PResiden (6).

UU No.35 Tentang Perubahan Atas UU No.14 /1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman

Untuk melaksanakan Kebijakan Reformasi Pembangunan dalam pemisahan yang tegas antara fungsi-fungsi yudikatif dan eksekutif, diundangkan UU No.35 Tahun 1999, tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :

Pasal 11
1) Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1), secara organisatoris, administrative dan finansial berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung
2) Ketentuan mengenai organisasi, administrasi dan finansial sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk masing-masing lingkungan peradilan diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang sesuai dengan kekhususan lingkungan peradilan masing-masing.

Di antara Pasal 11 dan 12 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 11A yang berbunyi sebagai berikut :

Pasal 11A
1) Pengalihan organisasi, administrasi dan finansial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dilaksanakan secara bertahap, paling lama 5 (lima) tahun sejak Undang-undang ini berlaku.
2) Pengalihan organisasi, administrasi dan finansial bagi Peradilan Agama waktunya tidak ditentukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
3) Ketentuan mengenai tatacara pengalihan secara bertahap sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

Menurut Penjelasan pasal demi pasal, Pasal 1 angka 1 ayat (2)b bagi Peradilan Agama dalam memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan perkara di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan shadaqah. Menurut Penjelasan pasal demi pasal, Pasal 1 angka 2 ayat (2) selama belum dilakukan pengalihan, maka organisasi, administrasi dan finansial bagi Peradilan Agama masih tetap berada di bawah kekuasaan Departemen Agama (7).


Pancasila sebagai dasar agama
Sebagai dasar negara Indonesia, Pancasila sering disebut sebagaidasar falsafah negara (filosofische gronslag dari negara), Staats fundamentele norm, weltanschauung dan juga diartikan sebagai ideologi negara (staatsidee) negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama serta untuk beribadah menurut agamadan kepercayaannnya, negara menghendaki adanya toleransi dari masing-masing pemeluk agama dan aliran kepercayaan yang ada serta diakui.
Kalau kita menengok kembali perdebatan tentang Pancasila sebagai Dasar Negara NKRI di sidang Konstituante 1957, tampak jelas bahwa keberatan kaum agama lain terhadap klaim keunggulan Islam sebagai Dasar Negara adalah Islam dalam sejarahnya di dunia maupun di Indonesia masih mengandung ketidakadilan dalam artian demokrasi modern. Prof Mr. R.A. Soehardi dari partai Katholik dan perwakilan dari kaum nasionalis  seperti Soedjatmoko dan sebaginya serta wakil agama lain dalam sidang tersebut dengan tegas menyatakan bahwa nilai-nilai Pancasila yang ada seperti yang dijabarkan oleh pendiri Bangsa ada di setiap agama termasuk Islam maupun Katholik dan sebagainya. Oleh karenanya, Pancasila lebih luas dan universal dari pada pandangan Islam yang meletakkan umat agama lain dalam status dibawahnya (dzimmi, pen). Ada ketidakadilan yang signifikan dalam menempatkan status dzimmi bagi bangsa yang didirikan diatas pengorbanan semua kaum yang ingin menjadi satu bangsa dalam satu tatanan kenegaraan, NKRI. Keberatan lainnya adalah bahwa fakta sejarah yang memperlihatkan bahwa penguasa dan kaum intelektual Islam zaman dahulu di dunia maupun di Indonesia hingga kini selalu dalam perbedaan dalam menginterpretasi dan memaknai (shariat) Islam. Bila direfleksikan pada kondisi sekarang ini, dunia Islam seperti Iran dan Pakistan misalnya penuh dengan pertentangan ideologi Islam yang bahkan menyeret umat Islam pada perpecahan yang berdarah antar sesama Muslim dan lebih senang melupakan makna dan tujuan berbangsa dan bernegara. Hal ini karena politik Islam selama ini lebih cenderung pada politik ideologi daripada politik kebangsaan dan kebernegaraan. Politik shariat Islam boleh jadi hingga kini masih berkutat pada politik interpretasi ideologi (teologis). Berdakwah politis untuk mencapai satu shariat Islam sepertinya jauh dari pada kenyataan, dan ini akan berakibat fatal karena nafsu syahwat kekuasaan politik lebih dominan dan menarik daripada niat untuk membangun kehidupan yang rahmatan lil alamin dalam satu bangsa dan negara.
Realita kehidupan sosial kemasyarakatan
Mekanisme pengembalian fenomena realitas terhadap satu sumber, bukanlah bentuk perangkat wacana keagamaan yang menyeruak ke permukaan secara sederhana (muncul secara apriori-intuitif dari sebuah keyakinan terhadap ‘syair-syair keagamaan kuno’). Akan tetapi, hal ini ditemukan melalui proses dialektika wacana keagamaan yang –sayangnya– justru menggeret pada paradigma ketertundukan otoritas nalar dalam urusan-urusan hidup dan sosial-kemasyarakatan.
Dalam merealisasikan mekanisme ini, wacana keagamaan berpijak pada “sya`ir-sya`ir teistik kuno” untuk kemudian difungsikan sebagai salah satu postulat ‘tak terbantahkan’. Berangkat dari kerangka berfikir ini, seperti ketika hipotesis-teistik tentang penciptaan semesta dijadikan penjelasan dalam memaparkan eksistensi semesta, maka bentuk interpretasi yang berkembang –dalam wacana kaegamaan selain akidah– adalah pengembalian setiap fenomena sosial-kemasyarakatan pada sumber pijakan primer tersebut. Hal ini, secara aksiomatis akan menghilangkan campur tangan otoritas manusia sebagai makhluk berfikir.
Indonesia tetap menjadi negara berpenduduk muslim terbesar (kuantitatif) di dunia internasional sampai sekarang. Secara kuantitatif jumlah penduduk Indonesia yang beragama Islam sekitar 88-90 %. Umat muslim di Indonesia tetap menjadi daya tarik para peminat dan peneliti agama, sosiologi bahkan modernisme. Tema keagamaan khususnya di Indonesia menjadi menarik untuk selalu dibahas, baik oleh peneliti luar maupun dalam negeri. Masyarakat Indonesia merupakan suatu komponen yang dinamis dan memiliki karakteristik yang berbeda dari negara lain, baik negara Islam maupun bukan. Karakteristik masyarakat Indonesia secara diferensiatif sudah terbangun, semenjak kerajaan-kerajaan nusantara dulu. Oleh karena itu perbedaan-perbedaan di tengah masyarakat kemudian dikenal dengan istilah pluralistik atau kemajemukan. Ide lebih lanjut tentang toleransi dan pluralisme sudah menjadi wacana ilmiah dan terbaca di banyak karya intelektual (Islam) Indonesia. Ide-ide baru baik secara teoritis maupun praktis pluralisme masih segar dikemukakan oleh Nurcholis Madjid. Bahkan istilah yang diperkenalkan oleh Gus Dur mengenai masyarakat Islam Indonesia, yaitu “pribumisasi Islam”. Sampai sekarang ide-ide tersebut masih tetap seksi dan menarik untuk ditelaah.
Karakteristik masyarakat Islam di Indonesia secara potret sosial historis, merupakan satu tema sendiri sebenarnya. Berbicara Islam di Indonesia berarti kita memotret secara sosial historis keberadaan umat Islam di Indonesia, dengan segala keunikannya. Sebuah keunikan tersendiri ketika wajah Islam Indonesia adalah sangat plural/majemuk. Memang umat Islam di Indonesia menjadi satu, ketika bicara Islam (teologis) sebagai sebuah lembaga agama. Namun ini tidak berlaku ketika berbicara dalam konteks sosiologis, yakni umat Islam (muslim). Umat Islam Indonesia merupakan komponen yang dinamis, hidup dan sangat kompleks. Islam (agama) sebagai wujud teologis yang pasti dan absolut di satu sisi dan umat Islam (sosiologis) yang menjadikan agama (Islam) sebagai identitas teologisnya. Dalam tulisan ini saya tidak akan membahas Islam (muslim) di Indonesia karena sangat luas dan kompleks. Tetapi saya akan membahas salah satu komponen di dalam Islam (muslim) di Indonesia itu sendiri yaitu Islam keindonesiaan.
Islam keindonesiaan sebagai bagian dari Islam di Indonesia memiliki wajah tersendiri. Dia lebih merupakan interpretasi terhadap masyarakat (muslim) secara sosio-antropologis. Bukan domain aturan absolut teologis atau instrumen legal-formal yang bernama fiqh. Konstruksi muslim Indonesia sudah majemuk dari awalnya ketika Islam sebagai agama vis a vis masyarakat lokal yang telah ada sebelum Islam masuk. Tentulah agama yang menjadi rahmatan lil’alamiin ini tetap dengan cita-cita transendennya yang mulia sebagai penyebar kasih sayang dan rahmat. Interaksi Islam sebagai agama dengan local genius tersebut tidak berhenti pada titik temporal saja, sebutlah saat penyebaran Islam oleh Wali Songo dan pendakwah Islam nusantara lainnya. Namun interaksi tersebut tetap mengalir terjadi sampai era postmodern sekarang ini. Islam benar-benar memasyarakat dan hidup di tengah tradisi lokal yang ramah juga dengan perubahan. Islam keindonesiaan merupakan manifestasi atau ekspresi keberagamaan umat Islam Indonesia yang selalu berinteraksi dan hidup inhern dengan nilai-nilai lokal. Tentunya yang menjadi media penyambung antara dua komponen sosial tadi adalah nilai-nilai pluralisme dan toleransi. Dua hal yang senantiasa menjadi ”kata-kata mutiara” di tengah centang-perenang realita kehidupan yang cenderung ”keras dan materialistik’ sekarang ini.
Untuk lebih menyederhanakan jika kita kelompokkan secara umum umat Islam di Indonesia, terbagi menjadi tiga komponen utama, yakni:
1.      Formalis-Konservatif
Terlepas dari perdebatan istilah saya mempunyai persepsi sendiri terhadap dua term ini. Nilai-nilai fundamental Islam dengan wacana Syari’ah Islam, Daulah Islamiyyah dan Khilafah Islamiyyah menjadi tema sentral dalam doktrinnya. Ekspresi keberagamaan kelompok ini lebih bersifat legal-formal dan rigid. Bisa dikatakan sebagai kelompok eksoterisme Islam dengan beragam bentuk organisasinya. Namun secara kuantitas memang minoritas di Indonesia. Tetapi memiliki modal sosial dan kohesivitas yang kuat secara ideologis dan kaderisasi. Diwakili oleh HTI, Gerakan Penegakkan syariah Islam, Ikhwan (PKS), dll.
2.      Tradisional-Moderat
Ini merupakan masyarakat Islam yang mayoritas dan bisa dikatakan serupa dengan ide Islam keindonesiaan dalam tulisan ini. Islam yang ramah terhadap perubahan dan hidup inhern dengan local genius. Secara fiqh lebih fleksibel dan adaptif namun tetap menjaga esoterisme Islam yang transenden. Diwakili oleh NU dan Aliran Tarekat.
3.      Modern-Moderat
Ini klasifikasi yang dilihat dari doktrin-doktrin formalistik organisatoris ditambah dengan ide-ide keberislaman. Tetap menjaga moderasi Islamnya tetapi juga mempertahankan puritanisme seperti dengan jargon kembali kepada Qur’an dan Sunnah, termasuk di dalamnya purifikasi ajaran Islam. Dinamika sebagai organisasi modern dan instrumen modernitas yang selalu identik di dalamnya. Diwakili oleh Muhammadiyah dan Persis.
4.      Liberal-Substansialis
Kelompok terakhir ini merupakan entitas baru dalam dinamika keberagamaan di Indonesia. Sekelompok kaum muda yang idealis, humanis dan progresif tetapi bisa juga dikatakan ”pemberontak” yang melakukan pemberontakan intelektual terhadap realita keberislaman masyarakat Indonesia. Lebih mengedepankan wacana-wacana Islam yang humanis dan ”memasyarakat”. Walaupun secara kuantitas sedikit tetapi kapabilitas intelektual mereka tidak bisa diremehkan. Terlahir dari kaum tradisional dan modern (moderat) yang mengedepankan esoterisme Islam ditambah kontekstualitas Islam. Dalam pergerakannya cenderung elitis karena hidup dalam forum-forum diskusi saja (kelas menengah atas), di dunia cyber atau eksklusif. Diwakili oleh JIL dan JIMM.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar