KEDUDUKAN HUKUM ISLAM
DALAM NEGARA REPUBLIK INDONESIA
Hukum Islam adalah hukum
yang bersumber dari dan merupakan bagian agama Islam. Hukum Islam dasarnya
ditetapkan oleh Allah melalui wahyu Nya yang dijelaskan oleh nabi
Muhammad saw sebagai rasulNya melalui sunnah beliau, dasar inilah yang
membedakan hukum Islam secara fundamental dengan hukum yang lain yang
semata-mata lahir dari kebiasaan hasil pemikiran atau buatan manusia belaka.
Kedudukan hukum Islam
dalam negara RI, tidak hanya secara umum ada dalam pasal 20 atau 24 UUD
1945 (disamping hukum-hukum lainnya). Tetapi secara khusus tercantum
dalam pasal 29 ayat (1) UUD 1945, di dalam pasal ini jelas disebutkan bahwa
negara berdasar atas ketuhanan yang maha esa, menurut almarhum Prof. Hazairin,
kaidah fundamental dalam pasal 29 ayat (1) dapat ditafsirkan dalam enam
kemungkinan, tiga diantaranya yang relevan dengan pembicaraan ini, intinya
adalah :
- Negara Indonesia tidak boleh ada atau tidak boleh berlaku hukum yang bertentangan dengan kaidah-kaidah agama yang berlaku bagi pemeluk agama di tanah air kita
- Negara wajib menjalankan syariat semua agama yang berlaku di Indonesia, kalau untuk menjalankan syariat itu memerlukan bantuan kekuasaan negara. Artinya adalah negara berkewajiban menjalankan syariat agama untuk kepentingan pemeluk agama yang diakui keberadaannya dalam negara RI ini.
- Syariat yang tidak memerlukan kekuasaan negara untuk melaksanakannya karena dapat dijalankan sendiri oleh setiap pemeluk agama yang bersangkutan (seperti shalat dan puasa bagi umat Islam) menjadi kewajiban pribadi pemeluk agama itu sendiri untuk menjalankan menurut ketentuan agamanya masing-masing.
·
Kedudukan Hukum Islam Setelah Amandemen UUD 1945
Oleh karena “Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Pertama, KEdua, Ketiga dan Keempat
ini adalah Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang ditetapkan
pada 18 Agustus 1945 dan diberlakukan kembali dengan Dekrit Presiden pada
tanggal 5 Juli 1959 serta dikukuhkan secara aklamasi pada tanggal 22 Juli 1959
oleh Dewan Perwakilan Rakyat”. Maka undang-undang No.1 th 1974, UU No.7 th
1989, Kompilasi Hukum Islam, UU No.35 th 1999 dan UU No.44 th 1999 masih tetap
berlaku. Apalagi aturan peralihan UUD 1945 pasal 1 telah menetapkan : “segala
peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan
yang baru menurut Undang-undang Dasar ini”
PELAKSANAAN HUKUM ISLAM
Pelaksanaan hukum Islam di Indonesia
dilakukan melalui berbagai jalur
- Jalur pertama adalah jalur iman dan takwa, melalui jalur ini pemeluk agama Islam dalam negara Republik Indonesia ini dapat melaksanakan hukum Islam yang merupakan bagian dan berasal dari agama Islam itu, yang di maksud dalam kaitan ini adalah hukum Islam bidang ibadah
- Jalur kedua yaitu jalur peraturan perundang-undangan
- Pelaksanaan hukum Islam bidang muamalah
- Melalui BAMUI (badan Arbitrase Muamalah Indonesia) yang didirikan oleh Majelis Ulama Indonesia (MU) pusat ini para pengusaha, pedagang dan industriawan atas kesepakatan bersama dapat memilih hukum Islam untuk menyelesaikan sengketa mereka secara damai (di luar pengadilan)
- Jalur kelima melaksanakan dalam makna menerapkan hukum Islam dilakukan oleh lembaga pusat penelitian obat/kosmetik dan makanan (LPPOM) yang juga didirikan oleh Majelis Ulama Indonesia. Lembaga ini menentukan apakah suatu produk obat-obatan, kosmetik, makanan, minuman halal atau haram di konsumsi (dimakan) oleh umat Islam. Penentuan halal haram suatu produk pangan, kelak akan dicantumkan yang dalam undang-undang pangan Republik Indonesia.
- Jalur keenam yaitu jalur pembinaan atau pembangunan hukum nasional melalui jalur ini unsur-unsur (asas dan norma) hukum Islam akan berlaku dan dilaksanakan bukan hanya bagi dan oleh umat Islam. Tetapi juga oleh penduduk Indonesia, terutama oleh warga negara RI.
Sekuler, Sekulerisme dan Sekulerisasi
Kata sekuler bisa
dipahami sebagai kata sifat atau kata benda. Sekuler dalam konteks kata sifat
adalah sesuatu yang terkait dengan dunia atau duniawi, sedangkan sekuler dalam
konteks kata benda mempunyai arti masa atau periode panjang.
Sekuler dalam sudut pandang wacana kekinian dipahami
sebagai kata sifat. Sekuler adalah sesuatu yang terkait dengan dunia dan sama
sekali tidak bersentuhan dengan unsur agama dan tradisi. Sebagaimana disinggung
Luke Ebersol, sekuler dalam konteks ilmu sosial adalah sesuatu yang hanya
terkait dengan dunia, dan karenanya, bertentangan dengan unsur spritual. Ia
juga menambahkan, sekuler tidak hanya bertentangan dengan unsur spritual, tapi
juga berseberangan dengan kesakralan. Pernyataan kedua Ebersol ini mendukung
Howard Becker dalam memandang pengertian sekuler. Howard Becker mengatakan,
“Sekuler mencakup pengertian tidak sakral, kafir, tidak bertuhan, tidak
beragama, tidak beriman dan lain-lain. Akan tetapi, makna setiap kata tadi
tidak bisa dijadikan sebagai sinonim satu sama lain”.
Ia menyatakan secara
tegas, bahwa sekuler berlawanan dengan semua unsur sakral. Oleh karena itu,
masih menurut Howard, segala bentuk budaya yang bernuansa sekuler selalu lebih cenderung
pada basis kapital.
Terminologi sekuler
berbeda dengan sekulerisme. Terminologi sekulerisme sudah dipahami sebagai
sistem yang berbasis pada filsafat atau sosial. Pengetian sekulerisme tetap
tidak meninggalkan warna aslinya yang selalu mengarah pada “murni dunia” atau
berseberangan dengan unsur-unsur agama. George Jacob Helyoake mengatakan,
sekulerisme adalah sebuah pergerakan yang bertujuan untuk membentuk perilaku
manusia yang tidak mempedulikan Tuhan dan akherat. Sepanjang sejarah, antara agama
dan sekulerisme masing-masing saling bertentangan satu dengan yang lainnya.
Pertentangan tersebut semakin meningkat setelah tibanya Renaissance.
Perkembangan agama diidentikkan dengan kehancuran sekulerisme dan perkembangan
sekulerisme diidentikkan dengan kehancuran agama. Brain Roulson juga
menegaskan, sekulerisme adalah sebuah ideologi yang menolak segala unsur
metafisik serta memposisikan nonagama sebagai landasan perilaku individu dan
sosial.
Penjelasan atas
pengertian sekulerisme dapat disimpulkan melalui kalimat berikut. Seorang sekuler dengan lantang akan
menyatakan bahwa Tuhan atau agama tidak ada. Seandainyapun Tuhan atau agama itu
diasumsikan ada, keduanya dipastikan tidak dapat berperan dalam menangani
kehidupan manusia, baik dari sisi teoritis maupun dari sisi praktis (fudzuluun
mutawaqifun).
Di samping sekuler dan
sekulerisme, terdapat pengertian lain yang masih berada dalam satu rangkaian
kata keduanya, yaitu sekulerisasi. Pengertian sekulerisasi berbeda dengan
sekuler dan sekulerisme. Sekulerisasi juga tidak meninggalkan makna asli
sekuler. Sekulerisasi secara bahasa dan istilah mempunyai makna yang sama.
Sekulerisasi adalah mengarahkan segala sesuatu menuju dunia atau
menduniakan. Muhammad Nagib Alatas
mengatakan, sekulerisasi adalah pelepasan pandangan manusia yang diserap dari
sumber agama atau semi agama.
Produk undang-undang yang berbasis agama
Setelah berlaku UUD 1945, Hukum Islam berlaku bagi bangsa Indonesia
yang beragama Islam karena kedudukan Hukum Islam itu sendiri, bukan karena ia
telah diterima oleh Hukum Adat. Pasal 29 UUD 1945 mengenai agama menetapkan :
(1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa;
(2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya
itu.
Selama 14 tahun dari tanggal 22 Juni 1945 (waktu ditandatanganinya
gentlement agreement antara pemimpin nasionalis dan pemimpin Islam sampai
tanggal 5 Juli 1959, sebelum Dekrit Presiden diundangkan), kedudukan hukum ketentuan
“kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya adalah persuasive
source. Sebagaimana semua hasi sidang-sidang Badan Penyelidik Kemerdekaan
Indonesia adalah sumber persuasif bagi penafsiran UUD 1945, maka Piagam Jakarta
sebagai salah satu hasil sidang Badan Penyelidik Kemerdekaan Indonesia juga
merupakan sumber persuasif dari UUD 1945 (2).
Penerimaan Hukum Islam Sebagai Sumber Otoritatif
Barulah dengan ditetapkannya Piagam Jakarta dalam Dekrit Presiden RI 5
Juli 1959, penerimaan Hukum Islam telah menjadi sumber otoritatif
(authoritative source) dalam hukum tata Negara Indonesia, bukan sekedar sumber
persuasif (persuasive source).
Untuk mengetahui dasar hukum Piagam Jakarta dalam konsiderans Dekrit 5
Juli 1959, perlu dipelajari dasar hukum pembukaan atau preambule dalam suatu
konstitusi dan konsiderans atau pertimbangan dari suatu perundang-undangan.
Sebagaimana kita ketahui, Piagam Jakarta itu semula merupakan
pembukaan dari rencana UUD 1945 yang dibuat oleh Badan Penyelidik Kemerdekaan
Indonesia, kemudian dalam konsiderans Dekrit Presiden RI ditetapkan :
“Bahwa kami berkeyakinan Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945
menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan
dalam konstitusi tersebut”.
Menurut hukum tata negara Indonesia, preambule atau konsideran ,
bahkan penjelasan peraturan perundangan, mempunyai kedudukan hukum. Preambule
dan penjelasan UUD adalah rangkaian kesatuan dari suatu konstitusi. Begitu pula
konsiderans dan penjelasan peraturan perundang-undangan adalah bagian integral
dari suatu peraturan perundangan. Pendapat di atas itu, sebelum adanya UU No.3
Tahun 1975 tentang Partai Politik dan GOlongan Karya, semata-mata merupakan
pendapat saya sebagai Sarjana Hukum. Dengan penjelasan pasal demi pasal dari
pasal 3 UU No.3 tahun 1975 dijelaskan :
“(1) Yang dimaksud dengan Undang-Undang Dasar 1945 dalam huruf a pasal
ini meliputi Pembukaan, Batang Tubuh dan Penjelasannya”.
Dengan demikian, maka preambule atau konsiderans dan penjelasan dari
UUD 1945 dan peraturan perundangan seperti Dekrit itu mempunyai kekuatan hukum.
Dekrit Presiden RI 5 Juli 1959 itu, selain merupakan Piagam Jakarta di
konsiderannya, diktumnya “menetapkan Undang-undang Dasar 1945 berlaku lagi”.
Dengan demikian dasar hukum Piagam Jakarta (dalam konsideran) dan dasar hukum
Undang-Undang Dasar 1945 (dalam diktum) ditetapkan dalam satu peraturan
perundang-undangan yang dinamakan Dekrit Presiden. KEduanya menurut hukum tata
negara Indonesia mempunyai kedudukan hukum yang sama.
Dengan demikian Presiden RI berkeyakinan, (jadi bukan hanya
Ir.Soekarno pribadi), bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 dan merupakan
suatu rangkaian kesatuan dalam konstitusi tersebut. Karena perbedaan Piagam
Jakarta dengan Pembukaan UUD 1945 hanyalah tujuh kata “dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, maka berarti bahwa ketujuh
kata itulah yang menjiwai UUD 1945 dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dalam
UUD 1945 itu.
Kata “menjiwai” secara negatif berarti tidak boleh dibuat peraturan
perundangan dalam negara RI yang bertentangan dengan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya. Dan secara positif berarti bahwa pemeluk-pemeluk Islam
diwajibkan menjalankan syariat Islam. Untuk itu harus dibuat Undang-undang yang
akan memberlakukan Hukum Islam dalam Hukum Nasional. Pendapat ini sesuai dengan
keterangan Perdana Menteri Djuanda pada tahun 1959 :
“Pengakuan adanya Piagam Jakarta sebagai dokumen historis bagi
pemerintah berarti pengakuan pula akan pengaruhnya terhadap Undang-Undang Dasar
1945. Jadi pengakuan tersebut tidak mengenai Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
saja, tetapi juga mengenai pasal 29 Undang Undang Dasar 1945, pasal mana
selanjutnya harus menjadi dasar bagi kehidupan hukum di bidang keagamaan (3)”
Di bidang jurisprudensi dengan Keputusan-keputusan Mahkamah Agung
sejak tahun 1959 telah diciptakan beberapa keputusan dalam bidang Hukum Waris
Nasional menurut sistem bilateral secara judge made law. Di sini terlihat bahwa
di bidang hukum waris, Hukum Waris Nasional yang bilateral lebih mendekati
Hukum Islam dari Hukum Adat (4).
UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Politik hukum memberlakukan Hukum Islam bagi pemeluk-pemeluknya oleh
Pemerintah Orde Baru dibuktikan dengan Undang-Undang No.1/1974 tentang
Perkawinan, Pasal 2 UU itu mengundangkan, “Perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya ” Pasal 63 UU Perkawinan
mengundangkan bahwa yang dimaksud dengan pengadilan dalam undang-undang ini
adalah Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam dan Pengadilan Umum
bagi yang lainnya.
Dengan UU NO.1/1974 Pemerintah dan DPR memberlakukan Hukum Islam bagi
pemeluk-pemeluk Islam dan menegaskan Pengadilan Agama berlaku bagi mereka yang
beragama Islam.
UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
Pasal 2 Undang-undang tentang Peradilan Agama mengundangkan :
“Peradilan agama merupakan salah satu pelaksanaan kekuasaan kehakiman bagi
rakyat pencari keadilan yang beragama Islam, mengenai perkara perdata tertentu
yang diatur dalam Undang-undang ini.” Sedangkan, pasal 49 mengundangkan
kekuasaan pengadilan dengan : “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang,
memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara
orang-orang yang beragama Islam di bidang ; (a) Perkawinan; (b) Kewarisan,
wasiat dan hibah, yang dilakukan berdasar Hukum Islam; dan (c) wakaf dan
shadaqah (5)
·
KOMPILASI HUKUM ISLAM
Pada 10 Juni 1991 Presiden Republik Indonesia menandatangani Instruksi
Presiden RI No.1 Tahun 1991. Dalam konsideran “Menimbang” pada INpres tersebut,
ditetapkan :
a. Bahwa para alim ulama Indonesia dalam lokakarya yang diadakan di
Jakarta pada 2 s/d 5 Februari 1998 telah menerima baik rancangan buku Kompilasi
Hukum Islam, yaitu Buku I tentang Hukum Perkawinan, Buku II tentang Hukum
Kewarisan dan Buku III tentang Perwakafan
b. Bahwa komplikasi Hukum Islam tersebut dalam huruf (a) oleh instansi
pemerintah dan masyarakat yang memerlukan dapat digunakan sebagai pedoman dalam
menyelesaikan masalah-masalah di bidang tersebut.
c. Bahwa oleh karena itu Kompilasi Hukum Islam tersebut dalam huruf
(a) perlu disebarluaskan.
Dalam konsideran “Mengingat”, sebagai dasar dari Inpres itu,
disebutkan “Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945”. Kemudian diktum
menyebutkan :
“Menginstruksikan kepada Menteri Agama untuk; Pertama: menyebarluaskan
kompilasi Hukum Islam yang terdiri dari :
a. Buku I tentang Hukum Perkawinan
b. Buku II tentang Hukum Kewarisan
c. Buku III tentang Hukum Perwakafan sebagaimana telah diterima baik
oleh alim ulama Indonesia dalam lokakarya di Jakarta pada 2 s/dd 5 Februari
1988, untuk digunakan oleh Instansi Pemerintah dan oleh masyarakat yang
memerlukannya.
Oleh karena sudah jelas bahwa dalam bidang perkawinan, kewarisan dan
wakaf bagi pemeluk-pemeluk Islam telah ditetapkan Undang-Undang yang berlaku
adalah Hukum Islam (pasal 49 UU No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama), maka
kompilasi Hukum Islam yang memuat hukum materiilnya itu dapat ditetapkan oleh
Keputusan Presiden/Instruksi PResiden (6).
UU No.35 Tentang Perubahan Atas UU No.14 /1970 Tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
Untuk melaksanakan Kebijakan Reformasi Pembangunan dalam pemisahan
yang tegas antara fungsi-fungsi yudikatif dan eksekutif, diundangkan UU No.35
Tahun 1999, tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, Ketentuan Pasal 11 diubah
sehingga berbunyi sebagai berikut :
Pasal 11
1) Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1),
secara organisatoris, administrative dan finansial berada di bawah kekuasaan
Mahkamah Agung
2) Ketentuan mengenai organisasi, administrasi dan finansial
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk masing-masing lingkungan peradilan
diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang sesuai dengan kekhususan lingkungan
peradilan masing-masing.
Di antara Pasal 11 dan 12 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 11A
yang berbunyi sebagai berikut :
Pasal 11A
1) Pengalihan organisasi, administrasi dan finansial sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dilaksanakan secara bertahap, paling lama 5
(lima) tahun sejak Undang-undang ini berlaku.
2) Pengalihan organisasi, administrasi dan finansial bagi Peradilan
Agama waktunya tidak ditentukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
3) Ketentuan mengenai tatacara pengalihan secara bertahap sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
Menurut Penjelasan pasal demi pasal, Pasal 1 angka 1 ayat (2)b bagi
Peradilan Agama dalam memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan perkara di bidang
perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan shadaqah. Menurut Penjelasan
pasal demi pasal, Pasal 1 angka 2 ayat (2) selama belum dilakukan pengalihan,
maka organisasi, administrasi dan finansial bagi Peradilan Agama masih tetap
berada di bawah kekuasaan Departemen Agama (7).
Pancasila
sebagai dasar agama
Sebagai dasar negara Indonesia, Pancasila sering disebut sebagaidasar falsafah negara (filosofische
gronslag dari negara), Staats fundamentele norm, weltanschauung dan juga
diartikan sebagai
ideologi negara (staatsidee) negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama serta untuk beribadah menurut agamadan kepercayaannnya, negara menghendaki
adanya toleransi dari masing-masing pemeluk agama dan aliran kepercayaan yang ada serta
diakui.
Kalau kita menengok kembali
perdebatan tentang Pancasila sebagai Dasar Negara NKRI di sidang Konstituante
1957, tampak jelas bahwa keberatan kaum agama lain terhadap klaim keunggulan
Islam sebagai Dasar Negara adalah Islam dalam sejarahnya di dunia maupun di
Indonesia masih mengandung ketidakadilan dalam artian demokrasi modern. Prof
Mr. R.A. Soehardi dari partai Katholik dan perwakilan dari kaum nasionalis seperti Soedjatmoko dan sebaginya serta wakil
agama lain dalam sidang tersebut dengan tegas menyatakan bahwa nilai-nilai
Pancasila yang ada seperti yang dijabarkan oleh pendiri Bangsa ada di setiap
agama termasuk Islam maupun Katholik dan sebagainya. Oleh karenanya, Pancasila
lebih luas dan universal dari pada pandangan Islam yang meletakkan umat agama
lain dalam status dibawahnya (dzimmi, pen). Ada ketidakadilan yang signifikan
dalam menempatkan status dzimmi bagi bangsa yang didirikan diatas pengorbanan
semua kaum yang ingin menjadi satu bangsa dalam satu tatanan kenegaraan, NKRI.
Keberatan lainnya adalah bahwa fakta sejarah yang memperlihatkan bahwa penguasa
dan kaum intelektual Islam zaman dahulu di dunia maupun di Indonesia hingga
kini selalu dalam perbedaan dalam menginterpretasi dan memaknai (shariat)
Islam. Bila direfleksikan pada kondisi sekarang ini, dunia Islam seperti Iran
dan Pakistan misalnya penuh dengan pertentangan ideologi Islam yang bahkan
menyeret umat Islam pada perpecahan yang berdarah antar sesama Muslim dan lebih
senang melupakan makna dan tujuan berbangsa dan bernegara. Hal ini karena
politik Islam selama ini lebih cenderung pada politik ideologi daripada politik
kebangsaan dan kebernegaraan. Politik shariat Islam boleh jadi hingga kini
masih berkutat pada politik interpretasi ideologi (teologis). Berdakwah politis
untuk mencapai satu shariat Islam sepertinya jauh dari pada kenyataan, dan ini
akan berakibat fatal karena nafsu syahwat kekuasaan politik lebih dominan dan
menarik daripada niat untuk membangun kehidupan yang rahmatan lil alamin dalam
satu bangsa dan negara.
Realita
kehidupan sosial kemasyarakatan
Mekanisme pengembalian fenomena
realitas terhadap satu sumber, bukanlah bentuk perangkat wacana keagamaan yang
menyeruak ke permukaan secara sederhana (muncul secara apriori-intuitif dari
sebuah keyakinan terhadap ‘syair-syair keagamaan kuno’). Akan tetapi, hal ini
ditemukan melalui proses dialektika wacana keagamaan yang –sayangnya– justru
menggeret pada paradigma ketertundukan otoritas nalar dalam urusan-urusan hidup
dan sosial-kemasyarakatan.
Dalam merealisasikan mekanisme ini,
wacana keagamaan berpijak pada “sya`ir-sya`ir teistik kuno” untuk kemudian
difungsikan sebagai salah satu postulat ‘tak terbantahkan’. Berangkat dari
kerangka berfikir ini, seperti ketika hipotesis-teistik tentang penciptaan
semesta dijadikan penjelasan dalam memaparkan eksistensi semesta, maka bentuk
interpretasi yang berkembang –dalam wacana kaegamaan selain akidah– adalah
pengembalian setiap fenomena sosial-kemasyarakatan pada sumber pijakan primer
tersebut. Hal ini, secara aksiomatis akan menghilangkan campur tangan otoritas
manusia sebagai makhluk berfikir.
Indonesia
tetap menjadi negara berpenduduk muslim terbesar (kuantitatif) di dunia
internasional sampai sekarang. Secara kuantitatif jumlah penduduk Indonesia
yang beragama Islam sekitar 88-90 %. Umat muslim di Indonesia tetap menjadi
daya tarik para peminat dan peneliti agama, sosiologi bahkan modernisme. Tema
keagamaan khususnya di Indonesia menjadi menarik untuk selalu dibahas, baik
oleh peneliti luar maupun dalam negeri. Masyarakat Indonesia merupakan suatu
komponen yang dinamis dan memiliki karakteristik yang berbeda dari negara lain,
baik negara Islam maupun bukan. Karakteristik masyarakat Indonesia secara
diferensiatif sudah terbangun, semenjak kerajaan-kerajaan nusantara dulu. Oleh
karena itu perbedaan-perbedaan di tengah masyarakat kemudian dikenal dengan
istilah pluralistik atau kemajemukan. Ide lebih lanjut tentang toleransi dan
pluralisme sudah menjadi wacana ilmiah dan terbaca di banyak karya intelektual
(Islam) Indonesia. Ide-ide baru baik secara teoritis maupun praktis pluralisme
masih segar dikemukakan oleh Nurcholis Madjid. Bahkan istilah yang
diperkenalkan oleh Gus Dur mengenai masyarakat Islam Indonesia, yaitu
“pribumisasi Islam”. Sampai sekarang ide-ide tersebut masih tetap seksi dan
menarik untuk ditelaah.
Karakteristik
masyarakat Islam di Indonesia secara potret sosial historis, merupakan satu
tema sendiri sebenarnya. Berbicara Islam di Indonesia berarti kita memotret
secara sosial historis keberadaan umat Islam di Indonesia, dengan segala
keunikannya. Sebuah keunikan tersendiri ketika wajah Islam Indonesia adalah
sangat plural/majemuk. Memang umat Islam di Indonesia menjadi satu, ketika
bicara Islam (teologis) sebagai sebuah lembaga agama. Namun ini tidak berlaku
ketika berbicara dalam konteks sosiologis, yakni umat Islam (muslim). Umat
Islam Indonesia merupakan komponen yang dinamis, hidup dan sangat kompleks.
Islam (agama) sebagai wujud teologis yang pasti dan absolut di satu sisi dan
umat Islam (sosiologis) yang menjadikan agama (Islam) sebagai identitas
teologisnya. Dalam tulisan ini saya tidak akan membahas Islam (muslim) di
Indonesia karena sangat luas dan kompleks. Tetapi saya akan membahas salah satu
komponen di dalam Islam (muslim) di Indonesia itu sendiri yaitu Islam
keindonesiaan.
Islam
keindonesiaan sebagai bagian dari Islam di Indonesia memiliki wajah tersendiri.
Dia lebih merupakan interpretasi terhadap masyarakat (muslim) secara
sosio-antropologis. Bukan domain aturan absolut teologis atau instrumen
legal-formal yang bernama fiqh. Konstruksi muslim Indonesia sudah majemuk dari
awalnya ketika Islam sebagai agama vis a vis masyarakat lokal yang telah ada
sebelum Islam masuk. Tentulah agama yang menjadi rahmatan lil’alamiin ini tetap
dengan cita-cita transendennya yang mulia sebagai penyebar kasih sayang dan
rahmat. Interaksi Islam sebagai agama dengan local genius tersebut tidak
berhenti pada titik temporal saja, sebutlah saat penyebaran Islam oleh Wali
Songo dan pendakwah Islam nusantara lainnya. Namun interaksi tersebut tetap
mengalir terjadi sampai era postmodern sekarang ini. Islam benar-benar
memasyarakat dan hidup di tengah tradisi lokal yang ramah juga dengan
perubahan. Islam keindonesiaan merupakan manifestasi atau ekspresi keberagamaan
umat Islam Indonesia yang selalu berinteraksi dan hidup inhern dengan
nilai-nilai lokal. Tentunya yang menjadi media penyambung antara dua komponen
sosial tadi adalah nilai-nilai pluralisme dan toleransi. Dua hal yang
senantiasa menjadi ”kata-kata mutiara” di tengah centang-perenang realita
kehidupan yang cenderung ”keras dan materialistik’ sekarang ini.
Untuk
lebih menyederhanakan jika kita kelompokkan secara umum umat Islam di
Indonesia, terbagi menjadi tiga komponen utama, yakni:
1. Formalis-Konservatif
Terlepas
dari perdebatan istilah saya mempunyai persepsi sendiri terhadap dua term ini.
Nilai-nilai fundamental Islam dengan wacana Syari’ah Islam, Daulah Islamiyyah
dan Khilafah Islamiyyah menjadi tema sentral dalam doktrinnya. Ekspresi
keberagamaan kelompok ini lebih bersifat legal-formal dan rigid. Bisa dikatakan
sebagai kelompok eksoterisme Islam dengan beragam bentuk organisasinya. Namun
secara kuantitas memang minoritas di Indonesia. Tetapi memiliki modal sosial
dan kohesivitas yang kuat secara ideologis dan kaderisasi. Diwakili oleh HTI,
Gerakan Penegakkan syariah Islam, Ikhwan (PKS), dll.
2. Tradisional-Moderat
Ini
merupakan masyarakat Islam yang mayoritas dan bisa dikatakan serupa dengan ide
Islam keindonesiaan dalam tulisan ini. Islam yang ramah terhadap perubahan dan
hidup inhern dengan local genius. Secara fiqh lebih fleksibel dan adaptif namun
tetap menjaga esoterisme Islam yang transenden. Diwakili oleh NU dan Aliran
Tarekat.
3. Modern-Moderat
Ini
klasifikasi yang dilihat dari doktrin-doktrin formalistik organisatoris
ditambah dengan ide-ide keberislaman. Tetap menjaga moderasi Islamnya tetapi
juga mempertahankan puritanisme seperti dengan jargon kembali kepada Qur’an dan
Sunnah, termasuk di dalamnya purifikasi ajaran Islam. Dinamika sebagai
organisasi modern dan instrumen modernitas yang selalu identik di dalamnya.
Diwakili oleh Muhammadiyah dan Persis.
4. Liberal-Substansialis
Kelompok
terakhir ini merupakan entitas baru dalam dinamika keberagamaan di Indonesia.
Sekelompok kaum muda yang idealis, humanis dan progresif tetapi bisa juga
dikatakan ”pemberontak” yang melakukan pemberontakan intelektual terhadap
realita keberislaman masyarakat Indonesia. Lebih mengedepankan wacana-wacana
Islam yang humanis dan ”memasyarakat”. Walaupun secara kuantitas sedikit tetapi
kapabilitas intelektual mereka tidak bisa diremehkan. Terlahir dari kaum
tradisional dan modern (moderat) yang mengedepankan esoterisme Islam ditambah
kontekstualitas Islam. Dalam pergerakannya cenderung elitis karena hidup dalam
forum-forum diskusi saja (kelas menengah atas), di dunia cyber atau eksklusif.
Diwakili oleh JIL dan JIMM.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar