AGAMA
DAN NEGARA DALAM ISLAM
Salah satu hal mengenai Islam
yang tidak mungkin diingkari ialah pertumbuhan dan perkembangan agama itu
bersama dengan pertumbuhan dan perkembangan sistem politik yang diilhaminya.
Sejak Rasulullah s.a.w. melakukan hijrah dari Mekkah ke Yatsrib -yang kemudian
diubah namanya menjadi Madinah- hingga saat sekarang ini
dalam wujud sekurang-kurangnya Kerajaan Saudi Arabia dan Republik Islam Iran,
Islam menampilkan dirinya sangat terkait dengan masalah kenegaraan.
Sesungguhnya, secara umum,
keterkaitan antara agama dan negara, di masa lalu dan pada zaman sekarang,
bukanlah hal yang baru, apalagi hanya khas Islam. Pembicara-an hubungan antara
agama dan negara dalam Islam selalu terjadi dalam suasana yang stigmatis. Ini
disebabkan, pertama, hubungan agama dan negara dalam Islam adalah yang paling
mengesankan sepanjang sejarah umat manusia. Kedua, sepanjang sejarah, hubungan
antara kaum Muslim dan non-Muslim Barat (Kristen Eropa) adalah hubungan penuh
ketegangan. Dimulai dengan ekspansi militer-politik Islam klasik yang sebagian
besar atas kerugian Kristen (hampir seluruh Timur Tengah adalah dahulunya
kawasan Kristen, malah pusatnya) dengan kulminasinya berupa pembe-basan
Konstantinopel (ibukota Eropa dan dunia Kristen saat itu), kemudian Perang
Salib yang kalah-menang silih berganti namun akhirnya dimenang-kan oleh Islam,
lalu berkembang dalam tatanan dunia yang dikuasai oleh Barat
imperialis-kolonialis dengan Dunia Islam sebagai yang paling dirugikan.
Disebabkan oleh hubungan antara Dunia Islam dan Barat yang traumatik tersebut,
lebih-lebih lagi karena dalam fasenya yang terakhir Dunia Islam dalam posisi
"kalah," maka pem-bicaraan tentang Islam berkenaan dengan
pandangannya tentang negara berlangsung dalam kepahitan menghadapi Barat sebagai
"musuh."
Pengalaman Islam pada zaman
modern, yang begitu ironik tentang hubungan antara agama dan negara
dilambangkan oleh sikap yang saling menuduh dan menilai pihak lainnya sebagai
"kafir" atau "musyrik" seperti yang terlihat pada kedua
pemerintahan Kerajaan Saudi Arabia dan Republik Islam Iran. Saudi Arabia,
sebagai pelanjut faham Sunni madzhab Hanbali aliran Wahabi, banyak menggunakan
retorika yang keras menghadapi Iran sebagai pelanjut paham Syi'i yang sepanjang
sejarah merupakan lawan kontroversi dan polemik mereka.
Iran sendiri, melihat Saudi
Arabia sebagai musyrik karena tunduk kepada kekuatan-kekuatan Barat yang
non-Islam. Semua itu memberi gambaran betapa problematisnya perkara sumber
legitimasi dari sebuah negara yang mengaku atau menyebut dirinya "negara
Islam." Sikap saling membatalkan legitimasi masing-masing antara Saudi
Arabia dan Iran mengandung arti bahwa tidak mungkin kedua-duanya benar. Yang
mungkin terjadi ialah salah satu dari keduanya salah dan satunya lagi benar, atau
kedua-duanya salah, sedangkan yang benar ialah sesuatu yang ketiga. Atau
mungkin juga masing-masing dari keduanya itu sama-sama mengandung unsur
kebenaran dan kesalahan.
Eksperimen
Madinah
Hubungan antara agama dan negara
dalam Islam, telah diberikan teladannya oleh Nabi s.a.w. sendiri setelah hijrah
dari Makkah ke Madinah (al-Madinah, kota par excellence). Dari nama yang
dipilih oleh Nabi s.a.w. bagi kota hijrahnya itu menun-jukkan rencana Nabi
dalam rangka mengemban misi sucinya dari Tuhan, yaitu men-ciptakan masyarakat
berbudaya tinggi, yang kemudian menghasilkan suatu entitas sosial-politik,
yaitu sebuah negara.
Negara Madinah pimpinan Nabi itu,
seperti dikatakan oleh Robert Bellah, seorang ahli sosiologi agama terkemuka,
adalah model bagi hubungan antara agama dan negara dalam Islam. Muhammad
Arkoun, salah seorang pemikir Islam kontemporer terdepan, menyebut usaha Nabi
s.a.w. itu sebagai "Eksperimen Madinah."
Menurut Muhammad Arkoun,
eksperimen Madinah itu telah menyajikan kepada umat manusia contoh tatanan
sosial-politik yang mengenal pendelegasian wewenang (arti-nya, wewenang atau
kekuasan tidak memusat pada tangan satu orang seperti pada sistem diktatorial,
melainkan kepada orang banyak melalui musyawarah) dan kehidupan berkonstitusi
(artinya, sumber wewenang dan kekuasaan tidak pada ke-inginan dan keputusan
lisan pribadi, tetapi pada suatu dokumen tertulis yang prinsip-prinsipnya
disepakati bersama). Karena wujud historis terpenting dari sistem
sosial-politik eksperimen Madinah itu ialah dokumen yang termasyhur, yaitu
Mitsaq al-Madinah (Piagam Madinah), yang di kalangan para sarjana modern juga
menjadi amat terkenal sebagai "Konstitusi Madinah." Piagam Madinah
itu selengkapnya telah didokumentasikan oleh para ahli sejarah Islam seperti
Ibn Ishaq (wafat 152 H) dan Muhammad ibn Hisyam (wafat 218 H).
Menurut Al-Sayyid Muhammad Ma'ruf
al-Dawalibi dari Universitas Islam Interna-sional Paris "yang paling
menakjubkan dari semuanya tentang Konstitusi Madinah itu ialah bahwa dokumen
itu memuat, untuk pertama kalinya dalam sejarah, prinsip-prinsip dan
kaedah-kaedah kenegaraan dan nilai-nilai kemanusiaan yang sebelumnya tidak
pernah dikenal umat manusia."
Ide pokok eksperimen Madinah oleh
Nabi ialah adanya suatu tatanan sosial-politik yang diperintah tidak oleh kemauan
pribadi, melainkan secara bersama-sama; tidak oleh prinsip-prinsip ad hoc yang
dapat berubah-ubah sejalan dengan kehendak pe-mimpin, melainkan oleh
prinsip-prisip yang dilembagakan dalam dokumen kesepakat-an dasar semua anggota
masyarakat, yaitu sebuah konstitusi.
Masa
Khilafah Rasyidah (Kekhalifahan Yang Bijaksana)
Apa yang terjadi pada kaum Muslim
penduduk Madinah selama tiga hari jenazah Nabi s.a.w. terbaring di kamar
A'isyah menjadi agak kabur oleh adanya polemik- polemik yang sengit antara kaum
Syi'ah dan kaum Sunnah. Kaum Sunnah mengklaim bahwa dalam tiga hari itu memang
terjadi musyawarah pengganti Nabi, yang kemu-dian mereka bersepakat memilih dan
mengangkat Abu Bakr. Kaum Syi'ah, meng-klaim bahwa yang terjadi ialah semacam
persekongkolan kalangan tertentu, dipimpin oleh 'Umar, untuk merampas hak Ali
sebagai penerus tugas suci Nabi.
Klaim adanya hak bagi 'Ali untuk
menggantikan Nabi didasarkan antara lain pada makna pidato Nabi dalam peristiwa
yang hakikatnya tetap dipertengkarkan, yaitu semacam rapat umum di suatu tempat
bernama Ghadir Khumm. Peristiwa itu terjadi sekitar dua bulan sebelum Nabi
wafat, ketika beliau dalam perjalanan pulang dari haji perpisahan (hijjat
al-wada') meminta semua pengikut beliau itu berkumpul di Ghadir Khumm itu sebelum
terpencar ke berbagai arah. Dalam rapat besar itu beliau ber-pidato yang sangat
mengharukan, (karena memberi isyarat bahwa beliau akan segera berpulang ke
rahmatullah). Menurut kaum Syi'ah Nabi s.a.w. menegaskan wasiat bahwa 'Ali
adalah calon pengganti sesudah beliau.
Tapi kaum Sunni, sementara
mengakui adanya rapat besar Ghadir Khumm itu, dengan berbagai bukti dan argumen
menolak klaim Syi'ah bahwa disitu Nabi s.a.w. menegas-kan wasiat beliau untuk
'Ali. Bahkan yang terjadi ialah pembelaan untuk kebijaksana-an Nabi yang tidak
menunjuk anggota keluarga beliau sendiri sebagai calon pengganti Ibn Taymiyyah
menilai hal itu sebagai bukti nyata bahwa Muhammad adalah seorang Rasul Allah,
bukan seorang yang mempunyai ambisi kekuasaan atau pun kekayaan yang jika bukan
untuk dirinya maka untuk keluarga dan keturunannya.
Jika Muhammad saw. adalah
("hanya") seorang hamba sekaligus Rasul, dan bukannya seorang raja
sekaligus nabi menurut Ibn Taymiyyah kewajiban para pengikutnya untuk taat
kepada beliau bukanlah karena beliau memiliki kekuasaan politik (al-mulk),
melainkan karena wewenang suci beliau sebagai utusan Tuhan (risalah).
Dalam teori Ibn Taymiyyah,
Muhammad s.a.w. menjalankan kekuasaan tidaklah atas dasar legitimasi politik
seorang "imam." seperti dalam pengertian kaum Syi'ah (yang sangat
banyak berarti "kepala negara"), melainkan sebagai seorang Utusan
Allah semata. Karena itu ketaatan kepada Nabi bukanlah berdasarkan kekuasan
politik de facto (syawkah), melainkan karena beliau berkedudukan sebagai
pengemban misi suci (risalah) untuk seluruh umat manusia, baik mereka yang
hidup di masa beliau atau pun yang hidup sesudah beliau, sepanjang zaman. Nabi
tidak menunjuk seorang peng-ganti atau menunjuk seseorang yang bukan keluarga
sendiri.
Kenabian atau nubuw-wah telah
berhenti dengan wafatnya Rasulullah s.a.w. Oleh karena itu sumber otoritas dan
kewenangan para khalifah adalah berbeda sama sekali dari sumber otoritas Nabi.
Abu Bakr,misalnya, hanyalah seorang Khalifat al-Rasul (Pengganti Rasulullah)
dalam hal melanjutkan pelaksanaan ajaran yang ditinggalkan beliau, bukan
menciptakan tambahan, apalagi hal baru (bid'ah), terhadap ajaran itu. Ia tidak
bertindak sebagai manusia biasa. Istilah khalifah sendiri sebagai nama jabatan
yang pertamakali dipe-gang oleh Abu Bakr itu, adalah pemberian orang banyak
(rakyat), tidak secara lang-sung berasal dari Kitab ataupun Sunnah. Karena itu
ia tidak mengandung kesucian dalam dirinya, sebab ia hanya suatu kreasi
sosial-budaya saja.
Prinsip-prinsip Islam diatas itu,
yang oleh Bellah disebut sebagai "nasionalisme partisipatif
egaliter," dengan baik sekali dinyatakan oleh Abu Bakr dalam pidato
penerimaan diangkatnya sebagai khalifah. Pidato itu oleh banyak ahli sejarah
diang-gap suatu statemen politik yang amat maju, dan yang pertama sejenisnya
dengan semangat "modern" (partisipatif-egaliter).
Pidato ini merupakan manifesto
politik yang secara singkat dan padat menggambar-kan kontinuitas
prinsip-prinsip tatanan masyarakat yang telah diletakkan oleh Nabi. Seperti
dibuat lebih terang oleh Amin Sa'id, pidato itu memuat prinsip-prinsip, (1)
pengakuan Abu Bakr sendiri bahwa dia adalah "orang kebanyakan," dan
mengharap agar rakyat membantunya jika ia bertindak benar, dan meluruskannya
jika ia berbuat keliru; (2) seruan agar semua pihak menepati etika atau akhlaq
kejujuran sebagai amanat, dan jangan melakukan kecurangan yang disebutnya
sebagai khianat; (3) pene-gasan atas persamaan prinsip persamaan manusia
(egalitarianisme) dan keadilan sosial, dimana terdapat kewajiban yang pasti
atas kelompok yang kuat untuk kelom-pok yang lemah yang harus diwujudkan oleh
pimpinan masyarakat; (4) seruan untuk tetap memelihara jiwa perjuangan, yaitu
sikap hidup penuh cita-cita luhur dan melihat jauh ke masa depan; (5) penegasan
bahwa kewenangan kekuasaan yang diperolehnya menuntut ketaatan rakyat tidak
karena pertimbangan partikularistik pribadi pimpinan, tetapi karena nilai
universal prinsip-prinsip yang dianut dan dilaksanakannya. Dalam istilah
modern, kekuasaan Abu Bakr adalah kekuasaan konstitusional, bukan kekuasaan
mutlak perorangan.
Menurut Bellah, unsur-unsur
struktural Islam klasik yang relevan dengan penilaian bahwa sistem sosial Islam
klasik itu sangat modern ialah, pertama, faham Tawhid atau Ketuhanan Yang Maha
Esa (Monotheisme) yang mempercayai adanya Tuhan yang transenden, yang wujud-Nya
mengatasi alam raya (artinya, Tuhan berbeda dari alam dan tidak berhakikat
menyatu dengan alam, dalam ilmu akidah disebut sifat mukhalafat al-hawadits),
yang merupakan Pencipta dan Hakim segala yang ada; kedua, seruan kepada adanya
tanggung jawab pribadi dan putusan dari Tuhan menurut konsep Tawhid itu melalui
ajaran Nabi-Nya kepada setiap pribadi manusia; ketiga, adanya devaluasi radikal
(penurunan nilai yang mendasar) -Bellah malah mengatakan dapat secara sah
disebut "sekularisasi"- terhadap semua struktur sosial yang ada,
berhadapan dengan hubungan Tuhan-manusia yang sentral itu. Akibat terpenting
dari hal ini ialah hilangnya arti penting suku dan kesukuan yang merupakan
titik pusat rasa kesucian pada masyarakat Arab Jahiliah (pra-Islam); keempat,
adanya konsepsi tentang aturan politik berdasarkan partisipasi semua mereka
yang menerima kebenaran wahyu Tuhan, dengan etos yang menonjol berupa
keterlibatan dalam hidup dunia ini (tidak menghindari dunia seperti dalam
ajaran rahbaniyyah, pertapaan), yang aktif, bermasyarakat dan berpolitik, yang
membuat Islam lebih mudah menerima etos abad modern.
Politik Sunni melarang
memberontak kepada kekuasaan, betapapun dzalimnya kekua-saan itu, sekalipun
mengeritik dan mengecam kekuasaan yang dzalim adalah kewa-jiban, sejalan dengan
perintah Allah untuk melakukan amar ma'ruf nahi munkar. Para teoritikus politik
Sunni sangat mendambakan stabilitas dan keamanan, dengan adagium mereka:
"Penguasa yang dzalim lebih baik daripada tidak ada," dan
"Enampuluh tahun bersama pemimpin (imam) yang jahat lebih baik daripada
satu malam tanpa pemimpin." Karena kebanyakan umat Islam Indonesia Adalah
Sunni, pandangan berorientasi pada status quo itu juga bergema kuat sekali di
kalangan para ulama kita.
Islam jelas akan memberi ilham
kepada para pemeluknya dalam hal wawasannya tentang masalah sosial-politik,
namun sejarah menunjukkan bahwa agama Islam memberi kelonggaran besar dalam hal
bentuk dan pengaturan teknis masalah sosial-politik itu. Suatu bentuk formal
kenegaraan tidak ada sangkut pautnya dengan masalah legitimasi politik para
penguasanya. Yang penting adalah isi negara itu dipandang dari sudut beberapa
pertimbangan prinsipil Islam tentang etika sosial.
Apa yang dikehendaki oleh Islam
tentang tatanan sosial-politik atau negara dan pemerintahan ialah apa yang
dikehendaki oleh ide-ide modern tentang negara dan pemerintahan itu, yang pokok
pangkalnya ialah, menurut peristilahan kontem-porer egalitarianisme, demokrasi,
partisipasi, dan keadilan sosial.
Kesimpulan
Aqidah Islamiyah adalah iman
kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, Hari Akhir,
dan Qadar (taqdir) Allah. Aqidah ini merupakan dasar ideologi Islam yang
darinya terlahir berbagai pemikiran dan hukum Islam yang mengatur kehidupan
manusia. Aqidah Islamiyah telah memerintahkan untuk menerapkan agama secara
menyeluruh dalam segala aspek kehidupan, yang tidak mungkin terwujud kecuali
dengan adanya negara. Firman Allah SWT:
Wahai orang-orang yang beriman, masuklah
kamu ke dalam Islam secara keseluruhan?? (Qs. al-Baqarah [2]: 208).
Berdasarkan ini, maka seluruh
hukum-hukum Islam tanpa kecuali harus diterapkankepada manusia, sebagai
konsekuensi adanya iman atau Aqidah Islamiyah. Dan karena hukum-hukum Islam ini
tidak dapat diterapkan secara sempurna kecuali dengan adanya sebuah institusi
negara, maka keberadaan negara dalam Islam adalah suatu keniscayaan. Karena
itu, formulasi hubungan agama-negara dalam pandangan Islam dapat diistilahkan
sebagai hubungan yang positif, dalam arti bahwa agama membutuhkan negara agar
agama dapat diterapkan secara sempurna dan bahwa agama tanpa negara adalah
suatu cacat yang akan menimbulkan reduksi dan
distorsi yang parah dalam beragama. Agama tak dapat dipisahkan dari
negara. Agama mengatur seluruh aspek kehidupan melalui negara yang terwujud
dalam
konstitusi dan segenap
undang-undang yang mengatur kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
Hubungan agama-negara dalam
pandangan Islam harus didasarkan pada Aqidah Islamiyah, bukan aqidah yang lain.
Aqidah Islamiyah telah memerintahkan penerapan agama secara menyeluruh, yang
sangat membutuhkan eksistensi negara. Jadi, hubungan agama dan negara sangatlah
eratnya, karena agama (Islam) tanpa negara tak akan dapat terwujud secara sempurna
dalam kehidupan.
Hubungan ini secara nyata akan
dapat diwujudkan jika berdiri negara Khilafah Islamiyah, yang pendiriannya
merupakan kewajiban seluruh kaum muslimin. Tanpa Khilafah, agama dan negara
akan terpisah dan terceraikan, yang pada gilirannya akan mengakibatkan
lenyapnya penerapan sebagian besar ajaran Islam. Dalam keadaan tanpa Khilafah,
menerapkan Islam secara sempurna dan menyeluruh adalah utopia, ibarat mimpi di
siang bolong.
Kegagalan politik umat Islam
disebabkan oleh sejumlah faktor. Di antaranya, ketidakmampuan umat Islam
melestarikan nilai-nilai demokrasi yang pernah diajarkan dan bahkan
dipraktekkan secara konkret oleh Rasulullah di Madinah. Selain itu,
ketidakmampuan umat Islam mengimplementasikan prinsip-prinsip persamaan di
antara sesama manusia, dan penghargaan terhadap manusia dan kemanusiaan.
Wallahu a’lam bi as-shawab.
SISTEM
PERWAKILAN ISLAM DALAM DEMOKRASI
Memaknai
Demokrasi dalam Islam
Bagi Islam, secara umum demokrasi
adalah konsepsi netral yang bisa berarti positif dan negatif. Kenegatifannya
manakala konsep tersebut mengabdi pada imperialisme Barat dan disatu sisi
dipaksakan pada dunia timur, sehingga demokrasi hanya sebagai lip-service.
Sementara aspek positifnya, konsep demokrasi mampu menumbangkan rezim-rezim
diktator di berbagai belahan negara komunis di penghujung abad yang lampau.
Para pakar politik, terutama di
kalangan negara-negara Islam, melihat adanya persamaan dan kemiripan antara
Islam dan demokrasi. Sistem demokrasi saat ini menjadi trend di dunia Barat, dan
lambat laun disosialisasikan se antero dunia ini. Demokrasi adalah sebuah
sistem politik yang menekankan pada hak-hak dan kewajiban rakyat, dan
keseimbangan antara rakyat dan Negara. Sementara Islam sangat menghargai
esistensi kemanusiaan.
Sejarah Islam telah membuktikan
bahwa jauh sebelum gagasan demorasi dikembangkan kembali pasca reformasi
Perancis, tahun 1789, Al-Qur'an telah memberikan tawaran untuk melakukan
pemerintahan yang berbasis pada kekuatan rakyat. Hal ini bisa dilihat dari ajaran-ajaran
Islam yang terkandung dalam Al-Qur'an dan al-Hadits, seperti konsep musyawarah
sebagaimana disebutkan dalam surat al-Syuro: 38 dan Ali Imron: 159. Dua ayat
tersebut membekali kepada umat agar dalam menyelenggarakan urusan duniawi
termasuk urusan politik harus berlandasakan pada musyawarah di antara mereka.
Dalam konteks politik, musyawarah menjadi sangat berarti sebagai win-win
solution di antara pihak-pihak yang bertikai.
Praktek demokrasi sesungguhnya
telah berlangsung sejak zaman Rasulullah hidup bersama masyarakat kota Madinah.
Peristiwa Baitul Aqabah I dan II, Nabi Muhammad diangkat menjadi imam oleh
utusan dari Madinah. Begitu juga dalam memilih khalifah yang empat, musyawarah
diadakan di antara perwakilan suku-suku dan golongan (ulama, bangsawan,
tentara, dan sahabat. Sebelum jenazah Nabi Muhammad saw., para sahabat
bermusyawarah di suatau tempat, yang pada akhirnya dikenal dengan tsaqifah bani
Saidah untuk memilih pengganti Rasulullah sebagai imam (kepala Negara)
sekaligus sebagai kepala agama (rasululloh).
Bagitu juga tentang ketaatan
rakyat kepada pemerintahannya secara prinsip diatur dalam al-Qur'an dan
al-Hadita. Dalam QS. Annisa:59, menyatakan wahai orang-orang yang beriman
taatilah Allah SWT, tatatilah Rasulnya, dan para pemimpin di antara kamu. Ayat
ini memberikan konsep ketaatan rakyat kepada pemerintah sejajar dengan ketaatan
dalam beribadah. Begitu pentingnya ayat-ayat politik ini sehingga dibutuhkan
penalaran yang jernih dalam menangkap makna yang tersirat dalam berbagai teks al-Qur'an.
Di kalangan umat Islam, terdapat
tiga pola pemahaman relasi Islam dan politik; pertama pola integralistik, di
mana kelompok ini memahami bahwa Islam mengatur secara detail persoalan sosial
kemasyarakatan, termasuk persoalan politik kenegaraan. Kedua, pola sekularistik
di mana Islam dan politik adalah sesuatu yang berbeda, sehingga agama mengurusi
hal-hal yang ukhrowi, sementafa politik hany berdimensi transcendental.
Dan ketiga pola fakultatif yakni
pemahaman yang sangat moderat dan realistik. Faham ini menyadari bahwa Islam
adalah agama yang sempurna (kaffah), namun al-Qur'an tidak memberikan aturan
detail perihal suatu macam ibadah. Konsekwensinya, urusan detail tentang
persoalan muamalah termasuk politik diserahkan secara tehnis sesuai dengan
situasi dan kondisi.
Pola pertama memberikan penekanan
pada makna skripturalistik (tektualis), sehingga banyak menimbulkan gagasan
formalisasi politik Islam seperti khilafah dan imamah. Sedangkan pola kedua
lebih menitik beratkan pada kekuatan makna substantif sehingga muncul pemisahan
diametral antara Islam dan politik. Sementara pola ketiga inilah yang banyak
dianut umat Islam Indonesia, sehingga ketika memaknai demokrasi secara formal
tidak ada dalam Islam, namun nilai-nilai demokrasi dapat difahami dari
ayat-ayat politik dalam al-Qur'an.
Pemahaman inilah yang hendak
digali dalam Konferensi Internasional tentang Islam, Demokrasi and Good
Governance in Indonesia. Islam bukan hanya agama ritual tetapi Islam adalah
sebuah way of life bagi umat manusia. Wallohu a'lam bi shawab.
Dan hendaklah kamu memutuskan
perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati. hatilah kamu terhadap mereka, supaya
mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah
kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka
ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada
mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan
manusia adalah orang-orang yang fasik. (QS. 5. Almaaidah:49).
Sikap
Islam Terhadap Demokrasi dan Sistem Perwakilan
Sebagaian ummat menganggap
demokrasi sebagai suatu kemungkaran dan kekafiran yang nyata, sementara mereka
belum mengetahui secara persis apa itu hakikat dan esensi demokrasi tersebut.
Mereka hanya mengetahui kulit luarnya saja dan langsung mengecam kelompok lain
yang memanfaatkan sistem demokrasi dalam memperjuangkan dakwah Islam. Karena
itulah DR. Yusuf Qardhawi di dalam bukunya “Fiqhud dawlah” menjawab dengan
tangkas berbagai bentuk keraguan tentang hubungan Islam dengan demokrasi.
Menurut beliau hakikat demokrasi
- berbeda jauh dengan definisi dan terminologi akademis kebanyakan orang -
adalah bahwa rakyat memilih orang yang akan memerintah dan menata persoalan
mereka, tidak boleh dipaksakan kepada mereka penguasa yang tidak mereka sukai
atau rejim yang mereka benci. Dalam demokrasi yang sebenarnya masyarakat diberi
hak untuk mengoreksi penguasa bila dia keliru, diberi hak untuk mencabut dan
menggantinya bila dia menyimpang. Mereka tidak boleh digiring dengan paksa
untuk mengikuti berbagai sistem ekonomi, sosial, dan politik yang tidak mereka
kenal dan tidak pula mereka sukai. Bila sebagian mereka menolak, maka mereka
tidak boleh disiksa, dianiaya atau dibunuh.
Demokrasi yang sebenarnya
memberikan beberapa bentuk dan cara praktis seperti pemilihan dan referendum
umum, mendukung pihak mayoritas, menerapkan sistem multi partai, memberikan hak
kepada minoritas untuk beroposisi, menjamin kebebasan pers dan kemandirian
peradilan. Hakikat demokrasi seperti ini tidak bertentangan dengan nilai-nilai
Islam sebab Islam tidak membenarkan seorang yang dibenci atau tidak disukai
makmum menjadi imam mereka. Nabi berkata,
“Ada tiga tipe orang yang sholatnya
tidak naik di atas kepalanya walaupun satu jengkal. Yang pertama dari mereka
“orang yang mengimami suatu kaum sedang ia dibenci oleh kaum itu”.
Dalam
masalah politik Nabi bersabda,
“Imam atau pemimpin kalian yang
terbaik adalah orang-orang yang kalian cintai dan mereka yang mencintai kalian,
kalian mendoakan mereka dan mereka juga mendoakan kalian. Imam atau pemimpin
kalian yang terburuk adalah orang-orang yang kalian benci mereka juga membenci
kalian, kalian mencela mereka dan mereka juga mencela kalian”.
Islam dapat menerima demokrasi
karena ajarannya mencela penguasa diktator atau penguasa yang mengaku tuhan di
muka bumi. Kisah-kisah yang diceritakan Al Qur-an kepada kita menjadi pelajaran
bahwa para diktator seperti Namrudz di zaman Ibrahim AS, dan Fir’aun di zaman
Musa AS adalah model penguasa yang dibenci Allah dan kaum muslimin harus
menganggapnya sebagai sumber kemungkaran. Dari kisah Musa AS, Al Qur-an
mengungkapkan bahwa kediktatoran terbangun berdasarkan aliansi empat pihak yang
keji dan tercela,
Pertama:
Penguasa yang angkuh yang mengaku tuhan di muka bumi, yang berlaku
sewenang-wenang terhadap hamba-hamba Allah, penguasa seperti ini
penggambarannya diwakili oleh Fir’aun.
Kedua,
Politikus oportunis yang menggunakan kepintaran dan pengalamannya untuk
melayani kepentingan penguasa tiran, untuk memantapkan kekuasaan dan
meningkatkan popularitasnya, sehingga dia selalu dipatuhi rakyat. Politikus
seperti ini diwakili oleh Haman.
Ketiga,
Kapitalis dan feodalis yang mengambil manfaat dari pemerintahan yang zalim.
Mereka mendukung pemerinthan ini dengan mengeluarkan sebagian hartanya untuk
mendapatkan harta yang lebih banyak lagi dengan memeras keringat dan darah
rakyat. Kelompok ini diwakili oleh Qarun….
Keempat,
Para penasihat spiritual, para dukun, yang selalu menipu rakyat dengan
meligitimasi perbuatan zalim penguasa berdasarkan pembodohan rakyat dengan
dalil-dalil supranatural. Kelompok ini diwakili oleh tukang-tukang sihir
Fir’aun termasuk mantan ulama bernama Bal’aam bin Baura.
Keempat kelompok ini bergabung
karena kepentingan materi dan pemuasan syahwat. Al Qur-an mengungkapkan aliansi
keempat kelompok tersebut dan sikap mereka dalam menghadang risalah Musa AS,
sehingga akhirnya Allah membungkam mereka dengan kekuasaan-Nya.
Dengan cermat sekali Al Qur-an
mengaitkan antara kezaliman penguasa dengan tersebarnya kerusakan, yang
merupakan penyebab runtuhnya berbagai bangsa di masa lalu,
Apakah kamu tidak memperhatikan
bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap kaum ‘Aad, (yaitu) penduduk Iram yang
mempunyai bangunan yang tinggi, yang belum pernah dibangun (suatu kota) seperti
itu, di negeri-negeri lain, dan kaum Tsamut yang memotong batu-batu yang besar
di lembah, dan kaum Fir’aun yang mempunyai pasak-pasak (tentara yang banyak),
yang berbuat sewenang-wenang dalam negerinya, lalu mereka berbuat banyak
kerusakan dalam negeri itu, karena itu Tuhanmu menimpakan kepada mereka cemeti
azab, sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi. (QS. 89. Al Fajr:6-14).
Bila demokrasi di tengah
suatu masyarakat dibangun untuk memberdayakan masyarakat tersebut, untuk
menolak kediktatoran suatu rezim, atau untuk membangun iklim dan budaya
musyawarah di tengah masyarakat, maka Islam mengakui dan menerima demokrasi.
Bahkan prinsip-prinsip demokrasi yang seperti itu sejalan atau mendekati amar
ma’ruf nahi munkar, tawsiyah bil hak, dan upaya-upaya menegakkan keadilan.
Norma-norma dan prinsip penentangan terhadap kezaliman telah lebih dahulu di
tetapkan Islam jauh sebelum adanya istilah “demokrasi” di muka bumi. Namun Islam
menyerahkan perinciannya kepada ijtihad kaum muslimin sesuai dengan nilai-nilai
dasar agama mereka, dan sejalan pula dengan kepentingan duniawi dan
perkembangan kehidupan mereka di setiap tempat dan waktu.
Pemilu
dan Sistem Perwakilan Kita Dalam Pandangan Islam
Di antara sistem demokrasi yang
lazim berlaku adalah sistem pemilihan umum. Menurut pandangan Islam, Pemilu
merupakan “kesaksian” terhadap calon atas kelayakannya. Karena itu pemilih
diharuskan memenuhi persyaratan seorang saksi, seperti adil dan di atas usia
tertentu. Persyaratan keadilan boleh saja diringankan sesuai dengan keadaan,
sehingga rakyat dapat memberikan kesaksian sebanyak mungkin. Semua orang
diharapkan memberikan kesaksian, kecuali orang yang telah dibuktikan pengadilan
melakukan tindak kriminal yang mencemari kehormatan dan harga diri dan
seumpamanya.
Di Indonesia, yang diberikan
kesaksian di dalam Pemilu adalah Partainya. Sayang karena kebodohan masyarakat
terhadap politik mereka tidak mengetahui kualitas kandidat-kandidat calon wakil
rakyat yang diajukan oleh Partai tersebut. Padahal dalam kesaksian ini setiap
muslim dituntut untuk sejujurnya memberikan penilaian kepada Partai dan orang
yang menjadi kandidat tersebut.
Karena itu siapa yang memberikan
kesaksian bahwa seorang itu baik, padahal sesungguhnya dia tidak baik maka dia
telah melakukan persaksian palsu yang tergolong dusta yang dosanya disejajarkan
dengan menyembah berhala, “Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu
dan jauhilah perkataan-perkataan dusta”. (Al Hajj: 30)
Orang-orang yang memberikan
suaranya dalam pemilihan umum kepada seorang calon bahwa dia baik dan layak
untuk dipilih hanya karena yang bersangkutan adalah kerabat dan putera
daerahnya, atau karena kepentingan pribadi, maka dia telah melanggar perintah
Allah, “Dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah”.(Ath Tholaq: 2)
Sebaiknya suara diberikan dengan
landasan karena Allah dengan kriteria yang sesuai dengan kehendak Allah yaitu
kepada orang yang paling taqwa kepada-Nya dan terbaik dalam beramal soleh di
tengah kehidupan masyarakat. Maka para calon itu hendaknya diketahui kualitas
agamanya, kebiasaan amal solehnya, dan kemampuannya beramar ma’ruf dan nahi
munkar. Identitas mereka tidak boleh disembunyikan.
Pemilu menunjukkan wala (loyalitas)
seorang pemilih kepada orang-orang yang dipilihnya. Tingkat terendah dari wala
adalah afiliasi kepada orang atau Partainya. Karena itu seorang muslim memilih
harus berdasarkan firman Allah berikut,
Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan
orang-orang mu’min. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah
(untuk menyiksamu) (QS. 4. An Nisaa:144).
tas dasar ini tidak ada
kaidah-kaidah sistem parlemen yang bertentangan dengan kaidah-kaidah yang
digariskan oleh Islam dalam menata pemerintahan. Dengan demikian, berarti
sistem parlemen tidak jauh melenceng dan tidak asing bagi sistem Islam. Karena
itulah sewajarnya kaum muslimin mempunyai Partai, ikut serta dalam Pemilu,
mempunyai wakil-wakil di Parlemen untuk menyuarakan aspirasi mereka di tengah
bangsanya yang majemuk. Tanpa kehadiran mereka, ada banyak keburukan akan
terlahir dari dua poros besar,
Pertama,
munculnya pemimpin-pemimpin yang dibenci oleh Ummat Islam. Yaitu pemimpin yang
akan bertindak diktator dengan mengatasnamakan demokrasi….
Kedua,
semakin leluasanya orang-orang kafir dan sekuler membuat undang-undang dan
aturan yang akan merugikan Islam dan kaum muslimin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar