Selasa, 21 Januari 2014

AGAMA DAN NEGARA DALAM ISLAM



AGAMA DAN NEGARA DALAM ISLAM

Salah satu hal mengenai Islam yang tidak mungkin diingkari ialah pertumbuhan dan perkembangan agama itu bersama dengan pertumbuhan dan perkembangan sistem politik yang diilhaminya. Sejak Rasulullah s.a.w. melakukan hijrah dari Mekkah ke Yatsrib -yang kemudian diubah namanya menjadi Madinah- hingga saat sekarang ini dalam wujud sekurang-kurangnya Kerajaan Saudi Arabia dan Republik Islam Iran, Islam menampilkan dirinya sangat terkait dengan masalah kenegaraan.

Sesungguhnya, secara umum, keterkaitan antara agama dan negara, di masa lalu dan pada zaman sekarang, bukanlah hal yang baru, apalagi hanya khas Islam. Pembicara-an hubungan antara agama dan negara dalam Islam selalu terjadi dalam suasana yang stigmatis. Ini disebabkan, pertama, hubungan agama dan negara dalam Islam adalah yang paling mengesankan sepanjang sejarah umat manusia. Kedua, sepanjang sejarah, hubungan antara kaum Muslim dan non-Muslim Barat (Kristen Eropa) adalah hubungan penuh ketegangan. Dimulai dengan ekspansi militer-politik Islam klasik yang sebagian besar atas kerugian Kristen (hampir seluruh Timur Tengah adalah dahulunya kawasan Kristen, malah pusatnya) dengan kulminasinya berupa pembe-basan Konstantinopel (ibukota Eropa dan dunia Kristen saat itu), kemudian Perang Salib yang kalah-menang silih berganti namun akhirnya dimenang-kan oleh Islam, lalu berkembang dalam tatanan dunia yang dikuasai oleh Barat imperialis-kolonialis dengan Dunia Islam sebagai yang paling dirugikan. Disebabkan oleh hubungan antara Dunia Islam dan Barat yang traumatik tersebut, lebih-lebih lagi karena dalam fasenya yang terakhir Dunia Islam dalam posisi "kalah," maka pem-bicaraan tentang Islam berkenaan dengan pandangannya tentang negara berlangsung dalam kepahitan menghadapi Barat sebagai "musuh."

Pengalaman Islam pada zaman modern, yang begitu ironik tentang hubungan antara agama dan negara dilambangkan oleh sikap yang saling menuduh dan menilai pihak lainnya sebagai "kafir" atau "musyrik" seperti yang terlihat pada kedua pemerintahan Kerajaan Saudi Arabia dan Republik Islam Iran. Saudi Arabia, sebagai pelanjut faham Sunni madzhab Hanbali aliran Wahabi, banyak menggunakan retorika yang keras menghadapi Iran sebagai pelanjut paham Syi'i yang sepanjang sejarah merupakan lawan kontroversi dan polemik mereka.

Iran sendiri, melihat Saudi Arabia sebagai musyrik karena tunduk kepada kekuatan-kekuatan Barat yang non-Islam. Semua itu memberi gambaran betapa problematisnya perkara sumber legitimasi dari sebuah negara yang mengaku atau menyebut dirinya "negara Islam." Sikap saling membatalkan legitimasi masing-masing antara Saudi Arabia dan Iran mengandung arti bahwa tidak mungkin kedua-duanya benar. Yang mungkin terjadi ialah salah satu dari keduanya salah dan satunya lagi benar, atau kedua-duanya salah, sedangkan yang benar ialah sesuatu yang ketiga. Atau mungkin juga masing-masing dari keduanya itu sama-sama mengandung unsur kebenaran dan kesalahan.

Eksperimen Madinah

Hubungan antara agama dan negara dalam Islam, telah diberikan teladannya oleh Nabi s.a.w. sendiri setelah hijrah dari Makkah ke Madinah (al-Madinah, kota par excellence). Dari nama yang dipilih oleh Nabi s.a.w. bagi kota hijrahnya itu menun-jukkan rencana Nabi dalam rangka mengemban misi sucinya dari Tuhan, yaitu men-ciptakan masyarakat berbudaya tinggi, yang kemudian menghasilkan suatu entitas sosial-politik, yaitu sebuah negara.



Negara Madinah pimpinan Nabi itu, seperti dikatakan oleh Robert Bellah, seorang ahli sosiologi agama terkemuka, adalah model bagi hubungan antara agama dan negara dalam Islam. Muhammad Arkoun, salah seorang pemikir Islam kontemporer terdepan, menyebut usaha Nabi s.a.w. itu sebagai "Eksperimen Madinah."

Menurut Muhammad Arkoun, eksperimen Madinah itu telah menyajikan kepada umat manusia contoh tatanan sosial-politik yang mengenal pendelegasian wewenang (arti-nya, wewenang atau kekuasan tidak memusat pada tangan satu orang seperti pada sistem diktatorial, melainkan kepada orang banyak melalui musyawarah) dan kehidupan berkonstitusi (artinya, sumber wewenang dan kekuasaan tidak pada ke-inginan dan keputusan lisan pribadi, tetapi pada suatu dokumen tertulis yang prinsip-prinsipnya disepakati bersama). Karena wujud historis terpenting dari sistem sosial-politik eksperimen Madinah itu ialah dokumen yang termasyhur, yaitu Mitsaq al-Madinah (Piagam Madinah), yang di kalangan para sarjana modern juga menjadi amat terkenal sebagai "Konstitusi Madinah." Piagam Madinah itu selengkapnya telah didokumentasikan oleh para ahli sejarah Islam seperti Ibn Ishaq (wafat 152 H) dan Muhammad ibn Hisyam (wafat 218 H).

Menurut Al-Sayyid Muhammad Ma'ruf al-Dawalibi dari Universitas Islam Interna-sional Paris "yang paling menakjubkan dari semuanya tentang Konstitusi Madinah itu ialah bahwa dokumen itu memuat, untuk pertama kalinya dalam sejarah, prinsip-prinsip dan kaedah-kaedah kenegaraan dan nilai-nilai kemanusiaan yang sebelumnya tidak pernah dikenal umat manusia."

Ide pokok eksperimen Madinah oleh Nabi ialah adanya suatu tatanan sosial-politik yang diperintah tidak oleh kemauan pribadi, melainkan secara bersama-sama; tidak oleh prinsip-prinsip ad hoc yang dapat berubah-ubah sejalan dengan kehendak pe-mimpin, melainkan oleh prinsip-prisip yang dilembagakan dalam dokumen kesepakat-an dasar semua anggota masyarakat, yaitu sebuah konstitusi.

Masa Khilafah Rasyidah (Kekhalifahan Yang Bijaksana)

Apa yang terjadi pada kaum Muslim penduduk Madinah selama tiga hari jenazah Nabi s.a.w. terbaring di kamar A'isyah menjadi agak kabur oleh adanya polemik- polemik yang sengit antara kaum Syi'ah dan kaum Sunnah. Kaum Sunnah mengklaim bahwa dalam tiga hari itu memang terjadi musyawarah pengganti Nabi, yang kemu-dian mereka bersepakat memilih dan mengangkat Abu Bakr. Kaum Syi'ah, meng-klaim bahwa yang terjadi ialah semacam persekongkolan kalangan tertentu, dipimpin oleh 'Umar, untuk merampas hak Ali sebagai penerus tugas suci Nabi.

Klaim adanya hak bagi 'Ali untuk menggantikan Nabi didasarkan antara lain pada makna pidato Nabi dalam peristiwa yang hakikatnya tetap dipertengkarkan, yaitu semacam rapat umum di suatu tempat bernama Ghadir Khumm. Peristiwa itu terjadi sekitar dua bulan sebelum Nabi wafat, ketika beliau dalam perjalanan pulang dari haji perpisahan (hijjat al-wada') meminta semua pengikut beliau itu berkumpul di Ghadir Khumm itu sebelum terpencar ke berbagai arah. Dalam rapat besar itu beliau ber-pidato yang sangat mengharukan, (karena memberi isyarat bahwa beliau akan segera berpulang ke rahmatullah). Menurut kaum Syi'ah Nabi s.a.w. menegaskan wasiat bahwa 'Ali adalah calon pengganti sesudah beliau.

Tapi kaum Sunni, sementara mengakui adanya rapat besar Ghadir Khumm itu, dengan berbagai bukti dan argumen menolak klaim Syi'ah bahwa disitu Nabi s.a.w. menegas-kan wasiat beliau untuk 'Ali. Bahkan yang terjadi ialah pembelaan untuk kebijaksana-an Nabi yang tidak menunjuk anggota keluarga beliau sendiri sebagai calon pengganti Ibn Taymiyyah menilai hal itu sebagai bukti nyata bahwa Muhammad adalah seorang Rasul Allah, bukan seorang yang mempunyai ambisi kekuasaan atau pun kekayaan yang jika bukan untuk dirinya maka untuk keluarga dan keturunannya.

Jika Muhammad saw. adalah ("hanya") seorang hamba sekaligus Rasul, dan bukannya seorang raja sekaligus nabi menurut Ibn Taymiyyah kewajiban para pengikutnya untuk taat kepada beliau bukanlah karena beliau memiliki kekuasaan politik (al-mulk), melainkan karena wewenang suci beliau sebagai utusan Tuhan (risalah).

Dalam teori Ibn Taymiyyah, Muhammad s.a.w. menjalankan kekuasaan tidaklah atas dasar legitimasi politik seorang "imam." seperti dalam pengertian kaum Syi'ah (yang sangat banyak berarti "kepala negara"), melainkan sebagai seorang Utusan Allah semata. Karena itu ketaatan kepada Nabi bukanlah berdasarkan kekuasan politik de facto (syawkah), melainkan karena beliau berkedudukan sebagai pengemban misi suci (risalah) untuk seluruh umat manusia, baik mereka yang hidup di masa beliau atau pun yang hidup sesudah beliau, sepanjang zaman. Nabi tidak menunjuk seorang peng-ganti atau menunjuk seseorang yang bukan keluarga sendiri.

Kenabian atau nubuw-wah telah berhenti dengan wafatnya Rasulullah s.a.w. Oleh karena itu sumber otoritas dan kewenangan para khalifah adalah berbeda sama sekali dari sumber otoritas Nabi. Abu Bakr,misalnya, hanyalah seorang Khalifat al-Rasul (Pengganti Rasulullah) dalam hal melanjutkan pelaksanaan ajaran yang ditinggalkan beliau, bukan menciptakan tambahan, apalagi hal baru (bid'ah), terhadap ajaran itu. Ia tidak bertindak sebagai manusia biasa. Istilah khalifah sendiri sebagai nama jabatan yang pertamakali dipe-gang oleh Abu Bakr itu, adalah pemberian orang banyak (rakyat), tidak secara lang-sung berasal dari Kitab ataupun Sunnah. Karena itu ia tidak mengandung kesucian dalam dirinya, sebab ia hanya suatu kreasi sosial-budaya saja.

Prinsip-prinsip Islam diatas itu, yang oleh Bellah disebut sebagai "nasionalisme partisipatif egaliter," dengan baik sekali dinyatakan oleh Abu Bakr dalam pidato penerimaan diangkatnya sebagai khalifah. Pidato itu oleh banyak ahli sejarah diang-gap suatu statemen politik yang amat maju, dan yang pertama sejenisnya dengan semangat "modern" (partisipatif-egaliter).

Pidato ini merupakan manifesto politik yang secara singkat dan padat menggambar-kan kontinuitas prinsip-prinsip tatanan masyarakat yang telah diletakkan oleh Nabi. Seperti dibuat lebih terang oleh Amin Sa'id, pidato itu memuat prinsip-prinsip, (1) pengakuan Abu Bakr sendiri bahwa dia adalah "orang kebanyakan," dan mengharap agar rakyat membantunya jika ia bertindak benar, dan meluruskannya jika ia berbuat keliru; (2) seruan agar semua pihak menepati etika atau akhlaq kejujuran sebagai amanat, dan jangan melakukan kecurangan yang disebutnya sebagai khianat; (3) pene-gasan atas persamaan prinsip persamaan manusia (egalitarianisme) dan keadilan sosial, dimana terdapat kewajiban yang pasti atas kelompok yang kuat untuk kelom-pok yang lemah yang harus diwujudkan oleh pimpinan masyarakat; (4) seruan untuk tetap memelihara jiwa perjuangan, yaitu sikap hidup penuh cita-cita luhur dan melihat jauh ke masa depan; (5) penegasan bahwa kewenangan kekuasaan yang diperolehnya menuntut ketaatan rakyat tidak karena pertimbangan partikularistik pribadi pimpinan, tetapi karena nilai universal prinsip-prinsip yang dianut dan dilaksanakannya. Dalam istilah modern, kekuasaan Abu Bakr adalah kekuasaan konstitusional, bukan kekuasaan mutlak perorangan.

Menurut Bellah, unsur-unsur struktural Islam klasik yang relevan dengan penilaian bahwa sistem sosial Islam klasik itu sangat modern ialah, pertama, faham Tawhid atau Ketuhanan Yang Maha Esa (Monotheisme) yang mempercayai adanya Tuhan yang transenden, yang wujud-Nya mengatasi alam raya (artinya, Tuhan berbeda dari alam dan tidak berhakikat menyatu dengan alam, dalam ilmu akidah disebut sifat mukhalafat al-hawadits), yang merupakan Pencipta dan Hakim segala yang ada; kedua, seruan kepada adanya tanggung jawab pribadi dan putusan dari Tuhan menurut konsep Tawhid itu melalui ajaran Nabi-Nya kepada setiap pribadi manusia; ketiga, adanya devaluasi radikal (penurunan nilai yang mendasar) -Bellah malah mengatakan dapat secara sah disebut "sekularisasi"- terhadap semua struktur sosial yang ada, berhadapan dengan hubungan Tuhan-manusia yang sentral itu. Akibat terpenting dari hal ini ialah hilangnya arti penting suku dan kesukuan yang merupakan titik pusat rasa kesucian pada masyarakat Arab Jahiliah (pra-Islam); keempat, adanya konsepsi tentang aturan politik berdasarkan partisipasi semua mereka yang menerima kebenaran wahyu Tuhan, dengan etos yang menonjol berupa keterlibatan dalam hidup dunia ini (tidak menghindari dunia seperti dalam ajaran rahbaniyyah, pertapaan), yang aktif, bermasyarakat dan berpolitik, yang membuat Islam lebih mudah menerima etos abad modern.

Politik Sunni melarang memberontak kepada kekuasaan, betapapun dzalimnya kekua-saan itu, sekalipun mengeritik dan mengecam kekuasaan yang dzalim adalah kewa-jiban, sejalan dengan perintah Allah untuk melakukan amar ma'ruf nahi munkar. Para teoritikus politik Sunni sangat mendambakan stabilitas dan keamanan, dengan adagium mereka: "Penguasa yang dzalim lebih baik daripada tidak ada," dan "Enampuluh tahun bersama pemimpin (imam) yang jahat lebih baik daripada satu malam tanpa pemimpin." Karena kebanyakan umat Islam Indonesia Adalah Sunni, pandangan berorientasi pada status quo itu juga bergema kuat sekali di kalangan para ulama kita.

Islam jelas akan memberi ilham kepada para pemeluknya dalam hal wawasannya tentang masalah sosial-politik, namun sejarah menunjukkan bahwa agama Islam memberi kelonggaran besar dalam hal bentuk dan pengaturan teknis masalah sosial-politik itu. Suatu bentuk formal kenegaraan tidak ada sangkut pautnya dengan masalah legitimasi politik para penguasanya. Yang penting adalah isi negara itu dipandang dari sudut beberapa pertimbangan prinsipil Islam tentang etika sosial.

Apa yang dikehendaki oleh Islam tentang tatanan sosial-politik atau negara dan pemerintahan ialah apa yang dikehendaki oleh ide-ide modern tentang negara dan pemerintahan itu, yang pokok pangkalnya ialah, menurut peristilahan kontem-porer egalitarianisme, demokrasi, partisipasi, dan keadilan sosial.

Kesimpulan

Aqidah Islamiyah adalah iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, Hari Akhir, dan Qadar (taqdir) Allah. Aqidah ini merupakan dasar ideologi Islam yang darinya terlahir berbagai pemikiran dan hukum Islam yang mengatur kehidupan manusia. Aqidah Islamiyah telah memerintahkan untuk menerapkan agama secara menyeluruh dalam segala aspek kehidupan, yang tidak mungkin terwujud kecuali dengan adanya negara. Firman Allah SWT:

Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan?? (Qs. al-Baqarah [2]: 208).

Berdasarkan ini, maka seluruh hukum-hukum Islam tanpa kecuali harus diterapkankepada manusia, sebagai konsekuensi adanya iman atau Aqidah Islamiyah. Dan karena hukum-hukum Islam ini tidak dapat diterapkan secara sempurna kecuali dengan adanya sebuah institusi negara, maka keberadaan negara dalam Islam adalah suatu keniscayaan. Karena itu, formulasi hubungan agama-negara dalam pandangan Islam dapat diistilahkan sebagai hubungan yang positif, dalam arti bahwa agama membutuhkan negara agar agama dapat diterapkan secara sempurna dan bahwa agama tanpa negara adalah suatu cacat yang akan menimbulkan reduksi dan  distorsi yang parah dalam beragama. Agama tak dapat dipisahkan dari negara. Agama mengatur seluruh aspek kehidupan melalui negara yang terwujud dalam
konstitusi dan segenap undang-undang yang mengatur kehidupan bernegara dan bermasyarakat.

Hubungan agama-negara dalam pandangan Islam harus didasarkan pada Aqidah Islamiyah, bukan aqidah yang lain. Aqidah Islamiyah telah memerintahkan penerapan agama secara menyeluruh, yang sangat membutuhkan eksistensi negara. Jadi, hubungan agama dan negara sangatlah eratnya, karena agama (Islam) tanpa negara tak akan dapat terwujud secara sempurna dalam kehidupan.

Hubungan ini secara nyata akan dapat diwujudkan jika berdiri negara Khilafah Islamiyah, yang pendiriannya merupakan kewajiban seluruh kaum muslimin. Tanpa Khilafah, agama dan negara akan terpisah dan terceraikan, yang pada gilirannya akan mengakibatkan lenyapnya penerapan sebagian besar ajaran Islam. Dalam keadaan tanpa Khilafah, menerapkan Islam secara sempurna dan menyeluruh adalah utopia, ibarat mimpi di siang bolong.

Kegagalan politik umat Islam disebabkan oleh sejumlah faktor. Di antaranya, ketidakmampuan umat Islam melestarikan nilai-nilai demokrasi yang pernah diajarkan dan bahkan dipraktekkan secara konkret oleh Rasulullah di Madinah. Selain itu, ketidakmampuan umat Islam mengimplementasikan prinsip-prinsip persamaan di antara sesama manusia, dan penghargaan terhadap manusia dan kemanusiaan. Wallahu a’lam bi as-shawab.


SISTEM PERWAKILAN ISLAM DALAM DEMOKRASI

Memaknai Demokrasi dalam Islam

Bagi Islam, secara umum demokrasi adalah konsepsi netral yang bisa berarti positif dan negatif. Kenegatifannya manakala konsep tersebut mengabdi pada imperialisme Barat dan disatu sisi dipaksakan pada dunia timur, sehingga demokrasi hanya sebagai lip-service. Sementara aspek positifnya, konsep demokrasi mampu menumbangkan rezim-rezim diktator di berbagai belahan negara komunis di penghujung abad yang lampau.

Para pakar politik, terutama di kalangan negara-negara Islam, melihat adanya persamaan dan kemiripan antara Islam dan demokrasi. Sistem demokrasi saat ini menjadi trend di dunia Barat, dan lambat laun disosialisasikan se antero dunia ini. Demokrasi adalah sebuah sistem politik yang menekankan pada hak-hak dan kewajiban rakyat, dan keseimbangan antara rakyat dan Negara. Sementara Islam sangat menghargai esistensi kemanusiaan.

Sejarah Islam telah membuktikan bahwa jauh sebelum gagasan demorasi dikembangkan kembali pasca reformasi Perancis, tahun 1789, Al-Qur'an telah memberikan tawaran untuk melakukan pemerintahan yang berbasis pada kekuatan rakyat. Hal ini bisa dilihat dari ajaran-ajaran Islam yang terkandung dalam Al-Qur'an dan al-Hadits, seperti konsep musyawarah sebagaimana disebutkan dalam surat al-Syuro: 38 dan Ali Imron: 159. Dua ayat tersebut membekali kepada umat agar dalam menyelenggarakan urusan duniawi termasuk urusan politik harus berlandasakan pada musyawarah di antara mereka. Dalam konteks politik, musyawarah menjadi sangat berarti sebagai win-win solution di antara pihak-pihak yang bertikai.

Praktek demokrasi sesungguhnya telah berlangsung sejak zaman Rasulullah hidup bersama masyarakat kota Madinah. Peristiwa Baitul Aqabah I dan II, Nabi Muhammad diangkat menjadi imam oleh utusan dari Madinah. Begitu juga dalam memilih khalifah yang empat, musyawarah diadakan di antara perwakilan suku-suku dan golongan (ulama, bangsawan, tentara, dan sahabat. Sebelum jenazah Nabi Muhammad saw., para sahabat bermusyawarah di suatau tempat, yang pada akhirnya dikenal dengan tsaqifah bani Saidah untuk memilih pengganti Rasulullah sebagai imam (kepala Negara) sekaligus sebagai kepala agama (rasululloh).

Bagitu juga tentang ketaatan rakyat kepada pemerintahannya secara prinsip diatur dalam al-Qur'an dan al-Hadita. Dalam QS. Annisa:59, menyatakan wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah SWT, tatatilah Rasulnya, dan para pemimpin di antara kamu. Ayat ini memberikan konsep ketaatan rakyat kepada pemerintah sejajar dengan ketaatan dalam beribadah. Begitu pentingnya ayat-ayat politik ini sehingga dibutuhkan penalaran yang jernih dalam menangkap makna yang tersirat dalam berbagai teks al-Qur'an.

Di kalangan umat Islam, terdapat tiga pola pemahaman relasi Islam dan politik; pertama pola integralistik, di mana kelompok ini memahami bahwa Islam mengatur secara detail persoalan sosial kemasyarakatan, termasuk persoalan politik kenegaraan. Kedua, pola sekularistik di mana Islam dan politik adalah sesuatu yang berbeda, sehingga agama mengurusi hal-hal yang ukhrowi, sementafa politik hany berdimensi transcendental.

Dan ketiga pola fakultatif yakni pemahaman yang sangat moderat dan realistik. Faham ini menyadari bahwa Islam adalah agama yang sempurna (kaffah), namun al-Qur'an tidak memberikan aturan detail perihal suatu macam ibadah. Konsekwensinya, urusan detail tentang persoalan muamalah termasuk politik diserahkan secara tehnis sesuai dengan situasi dan kondisi.

Pola pertama memberikan penekanan pada makna skripturalistik (tektualis), sehingga banyak menimbulkan gagasan formalisasi politik Islam seperti khilafah dan imamah. Sedangkan pola kedua lebih menitik beratkan pada kekuatan makna substantif sehingga muncul pemisahan diametral antara Islam dan politik. Sementara pola ketiga inilah yang banyak dianut umat Islam Indonesia, sehingga ketika memaknai demokrasi secara formal tidak ada dalam Islam, namun nilai-nilai demokrasi dapat difahami dari ayat-ayat politik dalam al-Qur'an.
Pemahaman inilah yang hendak digali dalam Konferensi Internasional tentang Islam, Demokrasi and Good Governance in Indonesia. Islam bukan hanya agama ritual tetapi Islam adalah sebuah way of life bagi umat manusia. Wallohu a'lam bi shawab.

Dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati. hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. (QS. 5. Almaaidah:49).

Sikap Islam Terhadap Demokrasi dan Sistem Perwakilan

Sebagaian ummat menganggap demokrasi sebagai suatu kemungkaran dan kekafiran yang nyata, sementara mereka belum mengetahui secara persis apa itu hakikat dan esensi demokrasi tersebut. Mereka hanya mengetahui kulit luarnya saja dan langsung mengecam kelompok lain yang memanfaatkan sistem demokrasi dalam memperjuangkan dakwah Islam. Karena itulah DR. Yusuf Qardhawi di dalam bukunya “Fiqhud dawlah” menjawab dengan tangkas berbagai bentuk keraguan tentang hubungan Islam dengan demokrasi.

Menurut beliau hakikat demokrasi - berbeda jauh dengan definisi dan terminologi akademis kebanyakan orang - adalah bahwa rakyat memilih orang yang akan memerintah dan menata persoalan mereka, tidak boleh dipaksakan kepada mereka penguasa yang tidak mereka sukai atau rejim yang mereka benci. Dalam demokrasi yang sebenarnya masyarakat diberi hak untuk mengoreksi penguasa bila dia keliru, diberi hak untuk mencabut dan menggantinya bila dia menyimpang. Mereka tidak boleh digiring dengan paksa untuk mengikuti berbagai sistem ekonomi, sosial, dan politik yang tidak mereka kenal dan tidak pula mereka sukai. Bila sebagian mereka menolak, maka mereka tidak boleh disiksa, dianiaya atau dibunuh.

Demokrasi yang sebenarnya memberikan beberapa bentuk dan cara praktis seperti pemilihan dan referendum umum, mendukung pihak mayoritas, menerapkan sistem multi partai, memberikan hak kepada minoritas untuk beroposisi, menjamin kebebasan pers dan kemandirian peradilan. Hakikat demokrasi seperti ini tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam sebab Islam tidak membenarkan seorang yang dibenci atau tidak disukai makmum menjadi imam mereka. Nabi berkata,

“Ada tiga tipe orang yang sholatnya tidak naik di atas kepalanya walaupun satu jengkal. Yang pertama dari mereka “orang yang mengimami suatu kaum sedang ia dibenci oleh kaum itu”.

Dalam masalah politik Nabi bersabda,

“Imam atau pemimpin kalian yang terbaik adalah orang-orang yang kalian cintai dan mereka yang mencintai kalian, kalian mendoakan mereka dan mereka juga mendoakan kalian. Imam atau pemimpin kalian yang terburuk adalah orang-orang yang kalian benci mereka juga membenci kalian, kalian mencela mereka dan mereka juga mencela kalian”.

Islam dapat menerima demokrasi karena ajarannya mencela penguasa diktator atau penguasa yang mengaku tuhan di muka bumi. Kisah-kisah yang diceritakan Al Qur-an kepada kita menjadi pelajaran bahwa para diktator seperti Namrudz di zaman Ibrahim AS, dan Fir’aun di zaman Musa AS adalah model penguasa yang dibenci Allah dan kaum muslimin harus menganggapnya sebagai sumber kemungkaran. Dari kisah Musa AS, Al Qur-an mengungkapkan bahwa kediktatoran terbangun berdasarkan aliansi empat pihak yang keji dan tercela,

Pertama: Penguasa yang angkuh yang mengaku tuhan di muka bumi, yang berlaku sewenang-wenang terhadap hamba-hamba Allah, penguasa seperti ini penggambarannya diwakili oleh Fir’aun.

Kedua, Politikus oportunis yang menggunakan kepintaran dan pengalamannya untuk melayani kepentingan penguasa tiran, untuk memantapkan kekuasaan dan meningkatkan popularitasnya, sehingga dia selalu dipatuhi rakyat. Politikus seperti ini diwakili oleh Haman.

Ketiga, Kapitalis dan feodalis yang mengambil manfaat dari pemerintahan yang zalim. Mereka mendukung pemerinthan ini dengan mengeluarkan sebagian hartanya untuk mendapatkan harta yang lebih banyak lagi dengan memeras keringat dan darah rakyat. Kelompok ini diwakili oleh Qarun….

Keempat, Para penasihat spiritual, para dukun, yang selalu menipu rakyat dengan meligitimasi perbuatan zalim penguasa berdasarkan pembodohan rakyat dengan dalil-dalil supranatural. Kelompok ini diwakili oleh tukang-tukang sihir Fir’aun termasuk mantan ulama bernama Bal’aam bin Baura.

Keempat kelompok ini bergabung karena kepentingan materi dan pemuasan syahwat. Al Qur-an mengungkapkan aliansi keempat kelompok tersebut dan sikap mereka dalam menghadang risalah Musa AS, sehingga akhirnya Allah membungkam mereka dengan kekuasaan-Nya.

Dengan cermat sekali Al Qur-an mengaitkan antara kezaliman penguasa dengan tersebarnya kerusakan, yang merupakan penyebab runtuhnya berbagai bangsa di masa lalu,

Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap kaum ‘Aad, (yaitu) penduduk Iram yang mempunyai bangunan yang tinggi, yang belum pernah dibangun (suatu kota) seperti itu, di negeri-negeri lain, dan kaum Tsamut yang memotong batu-batu yang besar di lembah, dan kaum Fir’aun yang mempunyai pasak-pasak (tentara yang banyak), yang berbuat sewenang-wenang dalam negerinya, lalu mereka berbuat banyak kerusakan dalam negeri itu, karena itu Tuhanmu menimpakan kepada mereka cemeti azab, sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi. (QS. 89. Al Fajr:6-14).

Bila demokrasi di tengah suatu masyarakat dibangun untuk memberdayakan masyarakat tersebut, untuk menolak kediktatoran suatu rezim, atau untuk membangun iklim dan budaya musyawarah di tengah masyarakat, maka Islam mengakui dan menerima demokrasi. Bahkan prinsip-prinsip demokrasi yang seperti itu sejalan atau mendekati amar ma’ruf nahi munkar, tawsiyah bil hak, dan upaya-upaya menegakkan keadilan. Norma-norma dan prinsip penentangan terhadap kezaliman telah lebih dahulu di tetapkan Islam jauh sebelum adanya istilah “demokrasi” di muka bumi. Namun Islam menyerahkan perinciannya kepada ijtihad kaum muslimin sesuai dengan nilai-nilai dasar agama mereka, dan sejalan pula dengan kepentingan duniawi dan perkembangan kehidupan mereka di setiap tempat dan waktu.

Pemilu dan Sistem Perwakilan Kita Dalam Pandangan Islam

Di antara sistem demokrasi yang lazim berlaku adalah sistem pemilihan umum. Menurut pandangan Islam, Pemilu merupakan “kesaksian” terhadap calon atas kelayakannya. Karena itu pemilih diharuskan memenuhi persyaratan seorang saksi, seperti adil dan di atas usia tertentu. Persyaratan keadilan boleh saja diringankan sesuai dengan keadaan, sehingga rakyat dapat memberikan kesaksian sebanyak mungkin. Semua orang diharapkan memberikan kesaksian, kecuali orang yang telah dibuktikan pengadilan melakukan tindak kriminal yang mencemari kehormatan dan harga diri dan seumpamanya.

Di Indonesia, yang diberikan kesaksian di dalam Pemilu adalah Partainya. Sayang karena kebodohan masyarakat terhadap politik mereka tidak mengetahui kualitas kandidat-kandidat calon wakil rakyat yang diajukan oleh Partai tersebut. Padahal dalam kesaksian ini setiap muslim dituntut untuk sejujurnya memberikan penilaian kepada Partai dan orang yang menjadi kandidat tersebut.

Karena itu siapa yang memberikan kesaksian bahwa seorang itu baik, padahal sesungguhnya dia tidak baik maka dia telah melakukan persaksian palsu yang tergolong dusta yang dosanya disejajarkan dengan menyembah berhala, “Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta”. (Al Hajj: 30)

Orang-orang yang memberikan suaranya dalam pemilihan umum kepada seorang calon bahwa dia baik dan layak untuk dipilih hanya karena yang bersangkutan adalah kerabat dan putera daerahnya, atau karena kepentingan pribadi, maka dia telah melanggar perintah Allah, “Dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah”.(Ath Tholaq: 2)

Sebaiknya suara diberikan dengan landasan karena Allah dengan kriteria yang sesuai dengan kehendak Allah yaitu kepada orang yang paling taqwa kepada-Nya dan terbaik dalam beramal soleh di tengah kehidupan masyarakat. Maka para calon itu hendaknya diketahui kualitas agamanya, kebiasaan amal solehnya, dan kemampuannya beramar ma’ruf dan nahi munkar. Identitas mereka tidak boleh disembunyikan.

Pemilu menunjukkan wala (loyalitas) seorang pemilih kepada orang-orang yang dipilihnya. Tingkat terendah dari wala adalah afiliasi kepada orang atau Partainya. Karena itu seorang muslim memilih harus berdasarkan firman Allah berikut,

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mu’min. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu) (QS. 4. An Nisaa:144).

tas dasar ini tidak ada kaidah-kaidah sistem parlemen yang bertentangan dengan kaidah-kaidah yang digariskan oleh Islam dalam menata pemerintahan. Dengan demikian, berarti sistem parlemen tidak jauh melenceng dan tidak asing bagi sistem Islam. Karena itulah sewajarnya kaum muslimin mempunyai Partai, ikut serta dalam Pemilu, mempunyai wakil-wakil di Parlemen untuk menyuarakan aspirasi mereka di tengah bangsanya yang majemuk. Tanpa kehadiran mereka, ada banyak keburukan akan terlahir dari dua poros besar,

Pertama, munculnya pemimpin-pemimpin yang dibenci oleh Ummat Islam. Yaitu pemimpin yang akan bertindak diktator dengan mengatasnamakan demokrasi….

Kedua, semakin leluasanya orang-orang kafir dan sekuler membuat undang-undang dan aturan yang akan merugikan Islam dan kaum muslimin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar