TEORI KEADILAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM NASIONAL
BAB I
PENDAHULUAN
Berangkat dari
pemikiran yang menjadi issue para pencari keadilan terhadap problema yang
paling sering menjadi diskursus adalah mengenai persoalan keadilan dalam
kaitannya dengan hukum. Hal ini dikarenakan hukum atau suatu bentuk peraturan
perundang-undangan [1][1] yang diterapkan dan
diterimanya dengan pandangan yang berbeda, pandangan yang menganggap hukum itu
telah adil dan sebaliknya hukum itu tidak adil.
Problema demikian
sering ditemukan dalam kasus konkrit, seperti dalam suatu proses acara di
pengadilan seorang terdakwa terhadap perkara pidana (criminal of justice)
atau seorang tergugat terhadap perkara perdata (private of justice)
maupun tergugat pada perkara tata usaha negara (administration of justice)
atau sebaliknya sebagai penggugat merasa tidak adil terhadap putusan majelis
hakim dan sebaliknya majelis hakim merasa dengan keyakinanya putusan itu telah
adil karena putusan itu telah didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan hukum
yang tertulis dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Teori pembuktian
berasarkan Undang-Undang Positif (Positif Wettwlijks theorie).[2][2]
Keadilan hanya bisa
dipahami jika ia diposisikan sebagai keadaan yang hendak diwujudkan oleh hukum.
Upaya untuk mewujudkan keadilan dalam hukum tersebut merupakan proses yang
dinamis yang memakan banyak waktu. Upaya ini seringkali juga didominasi oleh kekuatan-kekuatan
yang bertarung dalam kerangka umum tatanan politik untuk mengaktualisasikannya.[3][3]
Orang dapat menggangap
keadilan sebagai suatu hasrat naluri yang diharapkan bermanfaat bagi dirinya.
Realitas keadilan absolut diasumsikan sebagai suatu masalah universal yang
berlaku untuk semua manusia, alam, dan lingkungan, tidak boleh ada monopoli
yang dilakukan oleh segelintir orang atau sekelompok orang. Atau orang
mengganggap keadilan sebagai pandangan individu yang menjunjung tinggi
kemanfaatan yang sebesar-besarnya bagi dirinya.
Jika demikian bagaimana
pandangan keadilan menurut kaidah-kaidah atau aturan-aturan yang berlaku umum
yang mengatur hubungan manusia dalam masyarakat atau hukum positif (Indonesia).[4][4] Secara konkrit hukum
adalah perangkat asas dan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan antar manusia
dalam masyarakat, baik yang merupakan kekerabatan, kekeluargaan dalam suatu
wilayah negara. Dan masyarakat hukum itu mengatur kehidupannya menurut
nilai-nilai sama dalam masyarakat itu sendiri (shared value) atau
sama-sama mempunyai tujuan tertentu. [5][5]
Dalam makalah ini,
penulis akan meguraikan persoalan keadilan dalam perspektif hukum nasional.
Dalam pandangan hukum penulis hanya akan menguraikan teori-teori keadilan
Aristoteles, John Rawl dan Hans Kelsen. Sedangkan dalam persfetif hukum
nasional Indonesia, penulis akan menguraikan teori-teori yang berhubungan
dengan cita negara (Staatsidee) sebagai dasar filosofis bernegara (Filosofiche
grondslag), yang termaktub dalam Pancasila sebagai sumber hukum nasional.[6][6]
BAB II
TEORI KEADILAN DALAM
PANDANGAN PARA PAKAR DAN
PERSPEKTIF HUKUM
NASIONAL
A. Teori-teori Keadilan
Dalam Pandangan Hukum
Teori-teori Hukum Alam sejak Socretes hingga Francois
Geny, tetap mempertahankan keadilan sebagai mahkota hukum. Teori Hukum
Alam mengutamakan “the search for
justice”.[7][7] Berbagai macam teori
mengenai keadilan dan masyarakat yang adil. Teori-teori ini menyangkut hak dan
kebebasan, peluang kekuasaan, pendapatan dan kemakmuran. Diantara teori-teori
itu dapat disebut : teori keadilan Aristoteles dalam bukunya nicomachean
ethics dan teori keadilan sosial John Rawl dalam bukunya a theory of
justice dan teori hukum dan keadilan Hans Kelsen dalam bukunya general
theory of law and state.
1.
Teori Keadilan Aritoteles
Pandangan Aristoteles tentang keadilan bisa didapatkan
dalam karyanya nichomachean ethics, politics, dan rethoric.
Spesifik dilihat dalam buku nicomachean ethics, buku itu sepenuhnya
ditujukan bagi keadilan, yang, berdasarkan filsafat hukum Aristoteles, mesti
dianggap sebagai inti dari filsafat hukumnya, “karena hukum hanya bisa
ditetapkan dalam kaitannya dengan keadilan”. [8][8]
Pada pokoknya pandangan keadilan ini sebagai suatu
pemberian hak persamaan tapi bukan persamarataan. Aristoteles membedakan hak
persamaanya sesuai dengan hak proposional. Kesamaan hak dipandangan manusia
sebagai suatu unit atau wadah yang sama. Inilah yang dapat dipahami bahwa semua
orang atau setiap warga negara dihadapan hukum sama. Kesamaan proposional
memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuan dan prestasi
yang telah dilakukanya.
Lebih lanjut, keadilan menurut pandangan Aristoteles
dibagi kedalam dua macam keadilan, keadilan “distributief” dan keadilan
“commutatief”. Keadilan distributief ialah keadilan yang memberikan
kepada tiap orang porsi menurut pretasinya. Keadilan commutatief memberikan
sama banyaknya kepada setiap orang tanpa membeda-bedakan prestasinya dalam hal
ini berkaitan dengan peranan tukar menukar barang dan jasa.[9][9] Dari pembagian macam
keadilan ini Aristoteles mendapatkan banyak kontroversi dan perdebatan.
Keadilan distributif menurut Aristoteles berfokus pada
distribusi, honor, kekayaan, dan barang-barang lain yang sama-sama bisa
didapatkan dalam masyarakat. Dengan mengesampingkan “pembuktian” matematis,
jelaslah bahwa apa yang ada dibenak Aristoteles ialah distribusi kekayaan dan
barang berharga lain berdasarkan nilai yang berlaku dikalangan warga.
Distribusi yang adil boleh jadi merupakan distribusi yang sesuai degan nilai
kebaikannya, yakni nilainya bagi masyarakat.[10][10]
2.
Teori Keadilan John Rawls
Beberapa konsep keadilan yang dikemukakan oleh Filsuf
Amerika di akhir abad ke-20, John Rawls, seperi A Theory of justice,
Politcal Liberalism, dan The Law of Peoples, yang memberikan
pengaruh pemikiran cukup besar terhadap diskursus nilai-nilai keadilan.[11][11]
John Rawls yang dipandang sebagai perspektif “liberal-egalitarian
of social justice”, berpendapat bahwa keadilan adalah kebajikan utama dari
hadirnya institusi-institusi sosial (social institutions). Akan tetapi,
kebajikan bagi seluruh masyarakat tidak dapat mengesampingkan atau menggugat
rasa keadilan dari setiap orang yang telah memperoleh rasa keadilan. Khususnya
masyarakat lemah pencari keadilan.[12][12]
Secara spesifik, John Rawls mengembangkan gagasan
mengenai prinsip-prinsip keadilan dengan menggunakan sepenuhnya konsep
ciptaanya yang dikenal dengan “posisi asali” (original position) dan
“selubung ketidaktahuan” (veil of ignorance).[13][13]
Pandangan Rawls memposisikan adanya situasi yang sama
dan sederajat antara tiap-tiap individu di dalam masyarakat. Tidak ada
pembedaan status, kedudukan atau memiliki posisi lebih tinggi antara satu dengan
yang lainnya, sehingga satu pihak dengan lainnya dapat melakukan kesepakatan
yang seimbang, itulah pandangan Rawls sebagai suatu “posisi asasli” yang
bertumpu pada pengertian ekulibrium reflektif dengan didasari oleh ciri
rasionalitas (rationality), kebebasan (freedom), dan persamaan (equality)
guna mengatur struktur dasar masyarakat (basic structure of society).
Sementara konsep “selubung ketidaktahuan”
diterjemahkan oleh John Rawls bahwa setiap orang dihadapkan pada tertutupnya
seluruh fakta dan keadaan tentang dirinya sendiri, termasuk terhadap posisi
sosial dan doktrin tertentu, sehingga membutakan adanya konsep atau pengetahuan
tentang keadilan yang tengah berkembang. Dengan konsep itu Rawls menggiring
masyarakat untuk memperoleh prinsip persamaan yang adil dengan teorinya disebut
sebagai “Justice as fairness”. [14][14]
Dalam pandangan John Rawls terhadap konsep “posisi
asasli” terdapat prinsip-prinsip keadilan yang utama, diantaranya prinsip
persamaan, yakni setiap orang sama atas kebebasan yang bersifat universal,
hakiki dan kompitabel dan ketidaksamaan atas kebutuhan sosial, ekonomi pada
diri masing-masing individu.
Prinsip pertama yang dinyatakan sebagai prinsip
kebebasan yang sama (equal liberty principle), seperti kebebasan
beragama (freedom of religion), kemerdekaan berpolitik (political of
liberty), kebebasan berpendapat dan mengemukakan ekpresi (freedom of
speech and expression), sedangkan prinsip kedua dinyatakan sebagai prinsip
perbedaan (difference principle), yang menghipotesakan pada prinsip persamaan
kesempatan (equal oppotunity principle).
Lebih lanjut John Rawls menegaskan pandangannya
terhadap keadilan bahwa program penegakan keadilan yang berdimensi kerakyatan
haruslah memperhatikan dua prinsip keadilan, yaitu, pertama, memberi hak dan kesempatan
yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi
setiap orang. Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang
terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat timbal balik.[15][15]
Dengan demikian, prinsip perbedaan menuntut diaturnya
struktur dasar masyarakat sedemikian rupa sehingga kesenjangan prospek mendapat
hal-hal utama kesejahteraan, pendapatan, otoritas diperuntukkan bagi keuntungan
orang-orang yang paling kurang beruntung. Ini berarti keadilan sosial harus
diperjuangkan untuk dua hal: Pertama, melakukan koreksi dan perbaikan
terhadap kondisi ketimpangan yang dialami kaum lemah dengan menghadirkan
institusi-institusi sosial, ekonomi, dan politik yang memberdayakan. Kedua,
setiap aturan harus meposisikan diri sebagai pemandu untuk mengembangkan
kebijakan-kebijakan untuk mengoreksi ketidak-adilan yang dialami kaum lemah.
3.
Teori Keadilan Hans Kelsen
Hans Kelsen dalam bukunya general theory of law and
state, berpandangan bahwa hukum sebagai tatanan sosial yang dapat
dinyatakan adil apabila dapat mengatur perbuatan manusia dengan cara yang
memuaskan sehingga dapat menemukan kebahagian didalamnya.[16][16]
Pandangan Hans Kelsen ini pandangan yang bersifat
positifisme, nilai-nilai keadilan individu dapat diketahui dengan aturan-aturan
hukum yang mengakomodir nilai-nialai umum, namun tetap pemenuhan rasa keadilan
dan kebahagian diperuntukan tiap individu.
Lebih lanjut Hans Kelsen mengemukakan keadilan sebagai
pertimbangan nilai yang bersifat subjektif. Walaupun suatu tatanan yang adil
yang beranggapan bahwa suatu tatanan bukan kebahagian setiap perorangan,
melainkan kebahagian sebesar-besarnya bagi sebanyak mungkin individu dalam arti
kelompok, yakni terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan tertentu, yang oleh penguasa
atau pembuat hukum, dianggap sebagai kebutuhan-kebutuhan yang patut dipenuhi,
seperti kebutuhan sandang, pangan dan papan. Tetapi kebutuhan-kebutuhan manusia
yang manakah yang patut diutamakan. Hal ini apat dijawab dengan menggunakan
pengetahuan rasional, ang merupakan sebuah pertimbangan nilai, ditentukan oleh
faktor-faktor emosional dn oleh sebab itu bersifat subjektif.[17][17]
Sebagai aliran posiitivisme Hans Kelsen mengakui juga
bahwa keadilan mutlak berasal dari alam, yakni lahir dari hakikat suatu benda
atau hakikat manusia, dari penalaran manusia atau kehendak Tuhan. Pemikiran
tersebut diesensikan sebagai doktrin yang disebut hukum alam. Doktrin hukum
alam beranggapan bahwa ada suatu keteraturan hubungan-hubungan manusia yang
berbeda dari hukum positif, yang lebih tinggi dan sepenuhnya sahih dan adil,
karena berasal dari alam, dari penalaran manusia atau kehendak Tuhan.[18][18]
Pemikiran tentang konsep keadilan, Hans Kelsen yang
menganut aliran positifisme, mengakui juga kebenaran dari hukum alam. Sehingga
pemikirannya terhadap konsep keadilan menimbulkan dualisme antara hukum positif
dan hukum alam.
Menurut Hans Kelsen : [19][19]
“Dualisme antara hukum positif
dan hukum alam menjadikan karakteristik dari hukum alam mirip dengan dualisme
metafisika tentang dunia realitas dan dunia ide model Plato. Inti dari fislafat
Plato ini adalah doktrinnya tentang dunia ide. Yang mengandung karakteristik
mendalam. Dunia dibagi menjadi dua bidang yang berbeda : yang pertama adalah
dunia kasat mata yang dapa itangkap melalui indera yang disebut realitas; yang
kedua dunia ide yang tidak tampak.”
Dua hal lagi konsep keadilan yang dikemukakan oleh
Hans Kelsen : pertama tentang keadilan dan perdamaian. Keadilan yang bersumber
dari cita-cita irasional. Keadilan dirasionalkan melalui pengetahuan yang dapat
berwujud suatu kepentingan-kepentingan yang pada akhirnya menimbulkan suatu
konflik kepentingan. Penyelesaian atas konflik kepentingan tersebut dapat
dicapai melalui suatu tatatanan yang memuaskan salah satu kepentingan dengan
mengorbankan kepentingan yang lain atau dengan berusaha mencapai suatu kompromi
menuju suatu perdamaian bagi semua kepentingan. [20][20]
Kedua, konsep keadilan dan legalitas. Untuk menegakkan
diatas dasar suatu yang kokoh dari suatu tananan sosial tertentu, menurut Hans
Kelsen pengertian “Keadilan” bermaknakan legalitas. Suatu peraturan umum adalah
“adil” jika ia bena-benar diterapkan, sementara itu suatu peraturan umum adalah
“tidak adil” jika diterapkan pada suatu kasus dan tidak diterapkan pada kasus
lain yang serupa. [21][21] Konsep keadilan dan
legalitas inilah yang diterapkan dalam hukum nasional bangsa Indonesia, yang
memaknai bahwa peraturan hukum nasional dapat dijadikan sebagai payung hukum (law
unbrella) bagi peraturan peraturan hukum nasional lainnya sesuai tingkat
dan derajatnya dan peraturan hukum itu memiliki daya ikat terhadap
materi-materi yang dimuat (materi muatan) dalam peraturan hukum tersebut.[22][22]
B.
Perspektif Keadilan Dalam Hukum Nasional
Pandangan keadilan dalam hukum nasional bersumber pada
dasar negara. Pancasila sebagai dasar negara atau falsafah negara (fiolosofische
grondslag) sampai sekarang tetap dipertahankan dan masih tetap dianggap
penting bagi negara Indonesia. Secara aksiologis, bangsa Indonesia merupakan
pendukung nilai-nilai Pancasila (subcriber of values Pancasila). Bangsa
Indonesia yang berketuhanan, yang berkemanusiaan, yang berpersatuan, yang
berkerakyatan, dan yang berkeadilan sosial.
Sebagai pendukung nilai, bangsa Indnesialah yang
menghargai, mengakui, serta menerima Pancasila sebagai suatu bernilai.
Pengakuan, penghargaan, dan penerimaan Pancasila sebagai sesuatu yang bernilai
itu akan tampak merefleksikan dalam sikap, tingkah laku, dan perbuata bangsa
Indonesia. Kalau pengakuan, penerimaan, atau penghargaan itu direfleksikan
dalam sikap, tingkah laku, serta perbuatan manusia dan bangsa Indonesia dalam
hal ini sekaligus adalah pengembannya dalam sikap, tingkah laku, dan perbuatan
manusia Indonesia. Oleh karenanya Pancasila sebagai suatu sumber hukum
tertinggi secara irasional dan sebagai rasionalitasnya adalah sebagai sumber
hukum nasional bangsa Indonesia.
Pandangan keadilan dalam hukum nasional bangsa
Indonesia tertuju pada dasar negara, yaitu Pancasila, yang mana sila kelimanya
berbunyi : “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Yang menjadi
persoalan sekarang adalah apakah yang dinamakan adil menurut konsepsi hukum
nasional yang bersumber pada Pancasila.
Menurut Kahar Masyhur dalam bukunya mengemukakan
pendapat-pendapat tentang apakah yang dinamakan adil, terdapat tigal hal
tentang pengertian adil. [23][23]
(1) “Adil” ialah :
meletakan sesuatu pada tempatnya.
(2) “Adil” ialah :
menerimahak tanpa lebih dan memberikan orang lain tanpa kurang.
(3) “Adil” ialah :
memberikan hak setiap yang berhak secara lengkap tanpa lebih tanpa kurang
antara sesama yang berhak dalam keadaan yang sama, dan penghukuman orang jahat
atau yang melanggar hukum, sesuai dengan kesalahan dan pelanggaran”.
Untuk lebih lanjut menguraikan tentang keadilan dalam
perspektif hukum nasional, terdapat diskursus penting tentang adil dan keadilan
sosial. Adil dan keadilan adalah pengakuan dan perlakukan seimbang antara hak
dan kewajiban. Apabila ada pengakuan dan perlakukan yang seimbang hak dan
kewajiban, dengan sendirinya apabila kita mengakui “hak hidup”, maka sebaliknya
harus mempertahankan hak hidup tersebut denga jalan bekerja keras, dan kerja
keras yang dilakukan tidak pula menimbulkan kerugian terhadap orang lain, sebab
orang lain itu juga memiliki hak yang sama (hak untuk hidup) sebagaimana halnya
hak yang ada pada diri individu.[24][24]
Dengan pengakuan hak hidup orang lain, dengan
sendirinya diwajibkan memberikan kesempatan kepada orang lain tersebut untuk
mempertahankan hak hidupnya.
Konsepsi demikian apabila dihubungkan dengan sila
kedua dari Pancasila sebagai sumber hukum nasional bangsa Indonesia, pada
hakikatnya menginstruksikan agar senantiasa melakukan perhubungan yang serasi antar manusia secara individu
dengan kelompok individu yang lainnya sehingga tercipta hubungan yang adil dan
beradab.
Hubungan adil dan beradab dapat diumpamakan sebagai
cahaya dan api, bila apinya besar maka cahayanya pun terang : jadi bila
peradabannya tinggi, maka keadilanpun mantap.[25][25]
Lebih lanjut apabila dihubungkan dengan “keadilan
sosial”, maka keadilan itu harus dikaitkan dengan hubungan-hubungan
kemasyarakatan. Keadilan sosial dapat diartikan sebagai : [26][26]
“(1) Mengembalikan hak-hak yang hilang kepada yang berhak.
(2) Menumpas keaniayaan, ketakutan dan perkosaan dan pengusaha-pengusaha.
(3) Merealisasikan persamaan terhadap hukum antara setiap individu,
pengusaha-pengusaha dan orang-orang mewah yang didapatnya dengan tidak wajar”.
Sebagaimana diketahui bahwa keadilan dan ketidakadilan
tidak dapat dipisahkan dari hidup dan kehidupan bermasyarakat. Dalam kehidupan
sehari-hari sering dijumpai orang yang “main hakim sendiri”, sebenarnya
perbuatan itu sama halnya dengan perbuatan mencapai keadilan yang akibatnya
terjadi ketidakadilan, khususnya orang yang dihakimi itu.
Keadilan sosial menyangkut kepentingan masyarakat
dengan sendirinya individu yang berkeadilan sosial itu harus menyisihkan
kebebasan individunya untuk kepentingan Individu yang lainnya
Hukum nasional hanya mengatur keadilan bagi semua
pihak, oleh karenanya keadilan didalam perspektif hukum nasional adalah
keadilan yang menserasikan atau menselaraskan keadilan-keadilan yang bersifat
umum diantara sebagian dari keadilan-keadilan individu. Dalam keadilan ini
lebih menitikberatkan pada keseimbangan antara hak-hak individu masyarakat
dengan kewajiban-kewajiban umum yang ada didalam kelompok masyarakat hukum.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
Sebagai bagian bab terakhir dari pembahasan makalah ini, perlu dikemukakan
beberapa kesimpulan dan saran sebagai berikut :
A. Kesimpulan
1. Teori keadilan menjadi landasan utama yang harus diwujudkan melalui hukum
yang ada. Aristoteles menegaskan bahwa keadilan adalah inti dari hukum.
Baginya, keadilan dipahami dalam pengertian kesamaan, namun bukan kesamarataan.
Membedakan hak persamaanya sesuai dengan hak proposional. Kesamaan proposional
memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuan dan prestasi
yang telah dilakukanya. Arietoteles juga membedakan dua macam keadilan,
keadilan “distributief” dan keadilan “commutatief”. Keadilan
distributief ialah keadilan yang memberikan kepada tiap orang porsi menurut
pretasinya. Keadilan commutatief memberikan sama banyaknya kepada setiap orang
tanpa membeda-bedakan prestasinya.
John Rawls dengan teori keadilan sosialnya menegaskan
bahwa maka program penegakan keadilan yang berdimensi kerakyatan haruslah
memperhatikan dua prinsip keadilan, yaitu, pertama, memberi hak dan kesempatan
yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi
setiap orang. Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang
terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat timbal balik (reciprocal
benefits) bagi setiap orang, baik mereka yang berasal dari kelompok
beruntung maupun tidak beruntung. John Rawl terhadap konsep “posisi asasli”
terdapat prinsip-prinsip keadilan yang utama, diantaranya prinsip persamaan,
yakni setiap orang sama atas kebebasan yang bersifat universal, hakiki dan
kompitabel dan ketidaksamaan atas kebutuhan sosial, ekonomi pada diri
masing-masing individu.
Hans Kelsen mengemukakan keadilan sebagai pertimbangan
nilai yang bersifat subjektif. Sebagai aliran positivisme mengakui juga bahwa
keadilan mutlak berasal dari alam, yakni lahir dari hakikat suatu benda atau
hakikat manusia, dari penalaran manusia atau kehendak Tuhan. Pengertian
“Keadilan” bermaknakan legalitas. Suatu peraturan umum adalah “adil” jika ia
bena-benar diterapkan, sementara itu suatu peraturan umum adalah “tidak adil”
jika diterapkan pada suatu kasus dan tidak diterapkan pada kasus lain yang
serupa.
2. Keadilan dalam perspektif hukum nasional tertuju pada keadilan sosial
menyangkut kepentingan masyarakat dengan sendirinya individu yang berkeadilan
sosial itu harus menyisihkan kebebasan individunya untuk kepentingan Individu
yang lainnya. Keadilan didalam perspektif hukum nasional ini adalah keadilan
yang menselaraskan keadilan-keadilan yang bersifat umum diantara sebagian dari
keadilan-keadilan individu. Keadilan ini lebih menitikberatkan keseimbangan
antara hak dan kewajiban.
B. Saran
1.
Untuk mencapai perspektif keadilan dalam hukum nasional yang paling utama
diperlukan pemahaman dan kesadaran terhadap hak dan kewajibannya sebagai warga
negara, oleh karenanya sikap, perbuatan untuk menempuh kebahagian dan
kesejahteraan pada individulah perlu ditanamkan lebih dulu.
2.
Antara hukum dan keadilan bagaikan dua mata pisau yang tajam yang
berlawanan, tidak pernah menyatu, oleh karenanya diperlukan suatu materi
peraturan hukum nasional yang dapat mengharmonisasikan antara hukum dan
keadilan, dalam arti peraturan yang memberikan keseimbangan antara hak dan
kewajiban, maupun peraturan yang menegaskan untuk mengutamakan kepentingan umum
diatas kepentingan individu.
[1][1] Lihat, A.Hamid
S. Attamimi, Dikembangkan oleh Maria Farida Indrati S, dari Perkuliahan Ilmu
Perundang-undangan, Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, Yogyakarta, Kanisius,
2007.
[2][2] Lihat, Andi
Hamzah, Hukum Acara Pidana Di Indonesia,
Edisi Revisi, Jakarta, Sinar Grafika, , 1996, hlm. 251.
[3][3]Carl Joachim
Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Bandung, Nuansa dan Nusamedia, 2004, hal 239.
[4][4] Mochtar
Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum, Suatu Pengenalan
Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Bandung, Alumni, 2000, hlm. 4.
[7][7] Theo Huijbers,
Filsafat Hukum dalam lintasan sejarah, cet VIII, Yogyakarta: kanisius,
1995 hlm. 196.
[9][9] L..J. Van
Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Pradnya Paramita, cetakan
kedua puluh enam, 1996,hlm. 11-12.
[11][11] Pan Mohamad
Faiz, Teori Keadilan John Rawls, dalam Jurnal Konstitusi, Volue 6 Nomor
1 (April 2009), hlm. 135.
[13][13]
Ibid.
[14][14]
Ibid.
[15][15] John Rawls, A
Theory of Justice, London: Oxford University press, 1973, yang sudah
diterjemahkan dalam bahasa indonesia oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Teori
Keadilan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2006.
[16][16] Hans Kelsen, General
Theory of Law and State, diterjemahkan oleh Rasisul Muttaqien, Bandung,
Nusa Media, 2011, hlm. 7.
[22][22] Lihat : Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundangan-undangan
[24][24] Suhrawardi K.
Lunis, Etika Profesi Hukum, Cetakan Kedua, Jakarta, Sinar Grafika, 2000, hlm.
50.
[25][25] Purnadi Purbacaraka
dan Soerjono Soekanto, Renungan Tentang Filsafat Hukum, Jakarta,
Rajawali, 1982, hlm.83.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar