Asas-asas
hukum pidana itu dapat digolongkan :
a. Asas
yg dirumuskan didalam KUHP atau perundang-undangan lainnya.
b. Asas
yg tidak dirumuskan dan menjadi asas hokum pidana yg tidak tertulis, dan dianut
didalam Yurisprudensi.
Asas
hukum pidana yg dirumuskan dalam perundang-undangan hukum pidana dibedakan menjadi
tiga bagian yaitu :
a. Asas
berlakunya undang-undang hukum pidana menurut tempat, yang mempunyai arti
penting bagi penentuan tenteng sampai dimana berlakunya hukum pidana suatu
Negara itu berlaku,apabila terjadi perbuatan pidana.(Lex emporis delicti).
b. Asas
berlakunya undang-undang hukum pidana menurut waktu,yang mempunyai arti penting
bagi penentuan saat kapan terjadinya perbuatan pidana.
c. Asas
berlakunya undang-undang hukum pidana menurut orang, sebagai pembuat atau
peserta,yang mempunyai arti penting untuk terjadinya perbuatan pidana dan
penuntutannya terhadap seseorang dalam suatu Negara maupun yang berada di luar
wilayah Negara.
Pembagian
tiga asas tersebut menurut tempat (grondgebied atau ruimtegebied), menurut
waktu (tijdsgebied) dan menurut orang (personengebied). Yang lazim diikuti
berdasarkan atas ajaran pembagian wilayah berlakunya suatu peraturan hukum.
Akan tetapi lebih baik pembagian tersebut cukup hanya menjadi dua asas, yaitu
asas berlakunya undang-undang hukum
pidana menurut tempat dan waktu saja. Hal ini disebabkan untuk lebih
mudah menghadapi masalah lain dibidang hukum pidana yang sering dicampuradukkan
yaitu tentang ajaran mengenai tempat dan waktu terjadinya delik/perbuatan
pidana.
Ada
beberapa asas lain yang dikenal dalam
ilmu pengetahuan hukum pidana, yaitu ;
a. Alasan
pembenar (rechtsvaardigingsgronden), yaitu menghapuskan sifat melawan hukumnya
perbuatan, sehingga menjadi perbuatan yang benar.
b. Alasan
pemaaf (schulduitsluitingsgronden), yaitu menghapuskan sifat melawan hukum
tetapi tidak pidana.
c. Alasan
penghapus penuntutan (onvervolgbaarheid), yaitu pernyataan tidak menuntut
karena tidak dapat diterima oleh badan penuntut umum yang disebabkan konflik
kepentingan dengan lebih mengutamakan kemanfaatannya untuk tidak menuntut
(Mr.J.E.Jonkers 1946:169).
a)
Asas
–asas Berlakunya Hukum Pidana Menurut Tempat
Asas
berlakunya undang-undang hukum pidana menurut tempat, dapat dibedakan menjadi
empat asas, yaitu: asas territorial (territorialiteitsbeginsel), asas personal
(personaliteitsbeginsel), asas perlindungan atau nasional yang passif
(bescermingsbeginsel atau passief nationaliteitsbeginsel), dan asas universal
(universaliteitsbeginsel).
1. Asas
territorial (territorialiteitsbeginsel)
Dalam
perundang-undangan Indonesia berlaku
bagi setiap orang yang melakukan perbuatan pidana di wilayah Indonesia. Asas
territorial berarti perundang-undangan hukum pidana berlaku bagi semua
perbuatan pidana yg terjadi didalam wilayah Negara, yg dilakukan oleh setiap
orang , baik sebagai warga Negara maupun
orang asing.
Asas
territorial mempunyai dasar logika sebagai perwujudan ats kedaulatan Negara untuk
mempertahankan ketertiban hukum didalam
wilayah Negara, dan kepada siapa saja yg melakukan perbuatan pidana berate
orang itu melanggar ketertiban hukum itu. Dapat dikatakan pula bahwa asas
territorialitas untuk berlakunya undang-undang hukum pidana merupakan asas yg
prinsip sebagai dasar utama kedaulatan hukum , sedangkan asas-asas yg lain
dipandang sebagai pengecualian yg bersifat perluasannya.
Batas
wilayah Negara menurut hukum internasional meliputi daratan atau pulau-pulau yg
mendapat pengakuan , perairan laut sepanjang pantai sejauh 3 mil (3 x 1851,50
meter = 5554,50 meter) dan udara diatas daratan termasuk perairan laut.
Pengertian wilayah Negara dapat diperluas keluar wilayah Negara untuk
kepentingan nasional aktif (personaliteitbeginsel atau actief
nationaliteitbeginsel) dan kepentingan nasional passif (passiefnationalliteitbeginsel)
atau (beschermingsbeginsel), dan bagi
asas nasional passif masih diperluas dengan universalitas. Dasar pemikiran yg
terakhir ini kiranya sejalan dengan ajaran Negara hukum. Asas nasional aktif yg
diatur dalam pasal 5-6 KUHP, dan dengan asas nasional passif yg diatur dalam
pasal 4 ke-1,2,3, pasal 7-8 KUHP.
2. Asas
personal (actief nationaliteit) yg
terkandung dalam passal 5 KUHP dapat dibagi atas tiga golongan masalah yaitu :
a.
Pada ayat (1) ke-1 menentukan beberapa
perbuatan pidana yg membahayakan kepentingan nasional bagi Indonesia ,dan
perbuatan-perbuatan itu tidak dapat diharapkan dikenai pidana ataupun
sungguh-sungguh untuk dituntut oleh undang-undang hukum pidana Negara asing,
oleh karena pembuat deliknya adalah warga Negara Indonesia dan karena kurang
perhatian terhadap kepentingan khusus Negara Indonesia, maka kepada setiap
warga Negara Indonesia yang diluar wilayah Indonesia melakukan perbuatan pidana
tertentu itu berlaku KUHP.
b.
Ayat (1) ke-2 memperluas ketentuan
golongan pertama, dengan syarat-syarat bahwa
1) perbuatan-perbuatan yg terjadi harus merupakan kejahatan menurut
ketentuan KUHP, dan 2) juga harus merupakan perbuatan yg diancam dengan pidana
oleh undang-undang hukum pidana negara asing dimana perbuatan itu terjadi.
c.
Ayat (2) untuk menghadapi kejahatan yg
dilakukan dengan perhitungan yg masak dan agar tidak lolos dari tuntutan hukum,
yaitu apabila orang asing diluar negeri melakukan kejahatan (golongan kedua)
dan sesudah itu melakukan naturalisasi menjadi warga Negara Indonesia, maka
penuntutan atas kejahatan pasal 5 ayat
(1) kedua masih dapat dilaksanakan.
Pasal 6 KUHP “membatasi” ketentuan
pasal 5 ayat (1) kedua agar tidak memberikan keputusan pidana mati terhadap
terdakwa apabila undang-undang hukum pidana Negara asing tidak mengancam pidana
mati, sebagai asas keseimbangan politik hukum. maksud diadakannya pasal 5 dan 6
KUHP itu untuk mengawasi warga Negara Indonesia agar di luar megeri tidak
melakukan kejahatan, sehingga mempunyai titik berat asas personal. Akan tetapi
dapat pula dikatakan pasal 5 dan 6 KUHP bermaksud menjamin kepentingan nasional
Indonesia atas perbuatan warganegara yg tidak bertanggung jawab , dengan
menitikberatkan asas nasional yg aktif. Menurut Pompe pasal ini adalah asas personal. Karena dengan asas
territorial masih belum cukup memberikan perlindungan atas kepentingan
nasional.
3.
Asas nasional passif
Adalah asas yg menyatakan berlakunya
undang-undang hukum pidana Indonesia di luar wilayah Negara bagi setiap orang,
warga Negara atau orang asing yg melanggar kepentingan hukum Indonesia, atau
melakukan perbuatan pidana yg membahayakan kepentingan nasional Indonesia di
luar negeri. Titik berat asas ini ditujukan kepada perlindungan kepentingan
(nasional) yg dibahayakan oleh perbuatan pidana yg dilakukan seseorang di luar
negeri, sehingga asas yg demikian ini juga dapat disebut asas perlindungan.
4.
Asas Universal
Adalah asas yg menyatakan setiap orang yg
melakukan perbuatan pidana dapat dituntut undang-undang hukum pidana Indonesia di
luar wilayah Negara untuk kepentingan hukum bagi seluruh dunia. Namun tidak
mungkin semua kepentingan hukum di dunia akan mendapat perlindungan, melainkan
hanya untuk kejahatan yg menyangkut tentang keuangan dan pelayaran. Pasal 4
ke-2 kalimat pertama dan ke-4 KUHP
mengandung asas universal yg melindungi kepentingan hukum dunia terhadap
kejahatan dalam mata uang atau uang kertas dan pembajakan laut, yg dilakukan
oleh setiap orang, dan dimana saja dilakukan.
Lalu dapat disimpulkan dari ketentuan
pasal 4-8 KUHP yg bermaksud mengatur secara terperinci atas perbuatan pidana
tertentu dan dapat diberlakukan di luar wilayah Indonesia, ternyata
penyusunannya tidak sistematis sehingga timbul kontradiksi didalam isinya.Pada
dasarnya dapat dimengerti adanya jalan pikiran bahwa masih dirasakan kurang
sempurna atas jaminan hokum bagi kepentingan bangsa dan Negara hanya dengan
asas territorial saja, melainkan harus diperluas lagi dengan asas nasional yg
aktif, asas nasional yg passif,dan asas universal, yg dipakai sebagai dasar
berlakunya perundang-undangan hukum pidana. Dalam hal ini perlu diadakan
pilihan mana yg lebih baik, mengatur asas-asas berlakunya undang-undang hukum
pidana dengan dirumuskan secara umum ataukah dirumuskan dengan terperinci, yg
kedua-duanya mempunyai kelemahan terhadap kedaulatan hukum Negara asing. Bagi
orang-orang penting dari suatu Negara
kiranya masih perlu pertimbangan adanya privilege ketika secara resmi
ketika berada di Negara asing, dan kepada mereka itu berlaku pengecualian hukum
atas dasar:
a.
Asas personal penuh masih tetap berlaku
terhadap orang-orang penting itu yg membawa hukum dari Negara asalnya, karena
yg penting atas perbuatan itu ada hukum yg menuntutnya.
b.
Asas opportunitas yg diperluas, terhadap
orang-orang penting itu yg akan lebih menguntungkan (utilitas) untuk tidak
dituntut, karena menjaga hubungan antarnegara.
Apabila ditinjau dari keseluruhan
aturan umum yg disebut didalam pasal 1 dan 2-8 KUHP seyogyanya diartikan
sebagai syarat berlakunya undang-undang hukum pidana maupun syarat penentuan
untuk penuntutan, karena tidak mungkin ada artinya peraturan hukum pidana
berlaku tanpa ada penuntutan, demikian pula tidak mungkin terjadi penuntutan
tanpa lebih dulu adanya peraturan hukum pidana yg berlaku, sehingga
kedua-duanya saling berhubungan dalam hukum pidana.
Pengecualian dari peraturan hukum
Negara terdiri atas:
a. Asas
immunitas terhadap Raja dan Anggota Parlemen.
b. Asas
penghapusan penuntutan terhadap orang-orang tertentu yg melakukan delik harta
kekayaan (vermogensdelicten) dan orang-orang tertentu yg melakukan delik pers
(drukpersdelicten).Kedua asas ini lebih mendekati arti pengecualian penuntutan
daripada arti pengecualian hukum, sehingga kepada orang-orang tersebut ada
penghapusan penuntutan.
Pengecualian dari peraturan hukum internasional terdiri atas:
a. Exterritorial
yg diartikan bahwa hukum sesuatu Negara tidak berlaku bagi seseorang tertentu
dari Negara asing, dan diperuntukan bagi Duta Negara Asing, para Konsul menurut
perjanjian, Kepala Negara Asing dengan keluarganya.
b. Exterritorial
yg diartikan sebagai wilayah Negara asing yg berada dalam suatu Negara, seperti
Kapal Perang Asing termasuk anak buahnya dan Tentara Negara Asing yg
berpangkalan di suatu Negara karena persetujuan.
b). Asas Berlakunya Hukum Pidana Menurut
Waktu
Sumber
utama tentang berlakunya undang-undang hukum pidana menurut waktu, tersimpul di
dalam pasal ayat (1) KUHP. Banyak pengertian yg dapat diberikan kepada pasal 1
ayat (1) KUHP antara lain:
a) Mempunyai
makna”nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali”, tiada delik,
tiada pidana, tanpa peraturan yg mengancam pidana lebih dahulu. (sifat umum adagium
di dalam hukum pidana).
b) Mempunyai
makna “undang-undang hukum pidana tidak mempunyai kekuatan berlaku surut”(Mr.
J.E.Jonkers 1946:37).
c) Mempunyai
makna “lex temporis delicti”, yg artinya undang-undang berlaku terhadap delik
yg terjadi pada saat itu.(Mr.D.H.Suringa 1968:305).
Sepanjang sejarah dari
perkembangan hukum pidana dengan segala faktor-faktor yg mempengaruhi, kiranya
dapat disusun empat macam sifat ajaran yg dikandung oleh asas legalitas:
a. Asas
legalitas hukum pidana, yg mendasarkan titik berat pada perlindungan individu
untuk memperoleh kepastian persamaan hukum (rechtszekerheid en
rechtsgelijkheid) terhadap penguasa agar tidak sewenang-wenang, Adagium oleh
ajaran ini, menurut G.W.Paton
dinamakan “nulla poena sine lege”, sedangkan menurut L.B.Curzon dinamakan “nullum crimen sine lege”. Perlindungan
individu diwujudkan adanya keharusan dibuat undang-undang lebih dahulu, untuk
menentukan perbuatan pidana ataupun pemidanaan.
b. Asas
legalitas hukum pidana, yg mendasarkan pada titik berat pada dasar dan tujuan
pemidanaan agar dengan sanksi pidana itu, hukum pidana bermanfaat bagi
masyarakat serta tidak ada pelanggaran hukum yg dilakukan oleh anggota
masyarakat, karena itu masyarakat harus mengetahui lebih dahulu rumusan
peraturan yg memuat tentang perbuatan pidana dan ancaman pidananya. Adagium yg
dipakai oleh ajaran ini dicetuskan Von
Feuerbach yg dinamakan “nullum delictum nulla poena sine praevia lege”matau
menurut tulisan V.Bemmelen dinamakan
“Nullum crimen nulla poena sine praevia lege poenali”.
c. Asas
hokum pidana, yg mendasarkan titik berat pada dua unsure yg sama pentingnya,
yaitu bahwa yg diatur oleh hukum pidana tidak hanya memuat ketentuan tentang
hukum pidana saja agar orang mau menghindari perbuatan itu, tetapi juga harus
diatur mengenai ancaman pidananya agar penguasa tidak sewenang-wenang dalam
menjatuhkan pidana. Didalam ajaran ini terdapat filsafah keseimbangan antara
pembatasan hukum bagi rakyat dan penguasa. Adagium dalam ajaran ini berpangkal
dari Von Feuerbach yg disusun
kembali menjadi tiga postulat oleh Van
Der Donk dengan nama “Rondom den regel-nulla poena sine lege, nulla poena
sine crimine,nullum crimen sine poena legali”.
d. Asas
legalitas hukum pidana, yg mendasarkan titik berat pada perlindungan hukum
lebih utama kepada Negara dan masyarakat daripada kepentingan individu, dengan
pokok pikiran tertuju pada “a crime is a socially dangerous act of commission
or omission as prescribed in criminal law”. Pada ajaran ini asas legalitas
diberikan cirri,bukan perlindungan individu akan tetapi kepada Negara dan
masyarakat, bukan kejahatan yg ditetapkan oleh undang-undang saja akan tetapi
menurut ketentuan hukum berdasarkan ukuran membahayakan masyarakat, oleh karena
itu tidak mungkin ada perbuatan jahat itu yg timbul kemudian dapat meloloskan
diri dari tuntutan hukum. Adagium yg dipakai ajaran ini menurut G.W. Paton dinamakan “nullum crimen
sine poena”.
Penafsiran
analogi yaitu penerapan aturan hukum pidana secara konkrit terhadap suatu
kejadian, yg unsur perbuatannya semula tidak tercakup didalam aturan hukum
pidana ketika dibuat, akan tetapi karena dipandang perlu unsure perbuatan baru
tersebut dinyatakan memenuhi syarat melanggar aturan hukum pidana. Untuk dapat
mendukung diterimanya analogi didalam hukum pidana, yg mendasarkan pada pokok
pikiran:
a. Dengan
membuat perbandingan bekerjanya penafsiran, dianggap analogi tidak berbeda
dengan penafsiran ekstensif.
b. Dengan
mengadakan pemisahan jalan pikiran analogi yg dibedakan menjadi empat versi:
1)
Penafsiran analogi yg menentukan sesuatu
perbuatan pidana baru.
2)
Penafsiran analogi untuk menentukan
pemberatan ancaman pidana saja.
3)
Penafsiran analogi untuk menentukan
perluasan penuntutan.
4)
Penafsiran analogi untuk menentukan
penghapusan pidana yg bersifat meringankan.
Dari uraian asas legalitas diatas
dapat disimpulkan bahwa asas legalitas mengandung tiga masalah yg prinsipil
yaitu:
a. Pada
dasarnya peraturan hukum pidana tidak berlaku surut, namun didalam praktik
dapat terjadi sebaliknya.
b. Pada
dasrnya dalam menentukan perbuatan pidana harus lebih dahulu dinyatakan dengan
peraturan dalam undang-undang dan berlaku secara umum, namun tidak mudah
persoalannya apabila rumusan undang-undang tidak lengkap, sehingga dimana perlu
berpegang kepada hokum yg pengertiannya lebih luas.
c. Pada
dasarnya untuk penerapan peraturan hukum pidana inkonkrito tidak boleh
dipergunakan analogi, namun dalam perkembangan dari cara berfikir yg lebih maju
dan mempunyai alasan yg kuat atas timbulnya kejadian konkrit yg berbahaya bagi
kepentingan umum maka dapat dimungkinkan analogi, (Pompe hanya mengakui prinsip
a dan b saja).
Pembentuk undang-undang telah
menetapkan pengecualiannya pasal 1 ayat (1) KUHP di dalam pasal 1 ayat (2) KUHP
yang mempunyai dua ketentuan pokok yaitu:
a. Sesudah
perbuatan dilakukan ada perubahan dalam perundang-undangan.
b. Dipakai
aturan yang peling meringankan/menguntungkan
Ketentuan di dalam pasal 1 ayat
(2) KUHP itu banyak menimbulkan masalah, sehingga perlu ditinjau kembali atas
kemanfaatan dari hokum peralihan yang perumusannya seperti itu, ataukah
ditiadakan samasekali dengan pertimbangan bahwa:
a. Tidak
ada hokum yang berdiri sendiri tanpa pengaruh dari lapangan hokum yang lain
sehingga hokum pidana akan tetap memperhatikan perkembangan hokum pada umumnya,
bahkan lapangan ilmu yang lain.
b. Dasar
perubahan undang-unadang yang baru adalah karena perubahan
perasaan/keyakinan/kesadarn hokum rakyat, yang melalui badan pembentuk
undang-undang mengadakan undang-undang baru,untuk perbuatan pidana yang terjadi
kemudian, sehingga perubahan undang-undang yang karena sifatnya berlaku
sementara tidak termasuk perubahan disini.
c. Perubahan
undang-undang baru yang menyangkut berat atau ringannya ancaman pidana tidak
akan mempunyai arti, karena di dalam praktiknya hakim tetap memegang asas
kebebasan di dalam menjatuhkan pidana yang di ancamkan.
d. Di dalam perkembangan pembentukan
undang-undang baru karena kemajuan teknik perundang-undangan, jarang sekali merupakan
pedoman pelaksanaan di dalam aturan penutup yang memuat cara dan saat
berlakunya undang-undang yang bersangkutan.
e. Asas
lex temporis delicti yang berlaku secara tertulis maupun tidak tertulis sudah
menjadi asas yang menjamin kepastian hokum serta keadilan hokum.
Maksud rumusan kalimat perubahan
undang-undang ditafsirkan menjadi beberapa pendapat yaitu:
a.
“perubahan” undang-undang dalam arti
undang-undang hokum pidana saja (formeele opvatting).
b. “perubahan”
dalam arti mencakup undang-undang di luar undang-undang hokum pidana yang
berkaitan (materiele opvatting).
c. “perubahan”undang-undangdalam
arti suatu perubahan perasaan/keyakinan/kesadaran hukum yang ada dalam
pembentuk undang-undang (beperkte materiele leer).
d.
“perubahan” perasaan hokum maupun perubahan
keadaan karena waktu (onbeperkete materiele leer).
Pemakaian
istilah “dipakai aturan yang paling ringan bagi terdakwa” juga masih
menimbulkan persoalan yaitu:
a. Karena
dipergunakan kata “terdakwa” konsekuensinnya adalah bahwa selama keputusan
pengadilan belum menjadi keputusan tetap (kracht vangewijsde), maka ketentuan
pasal 1 ayat (2) KUHP masih dapat dipergunakan untuk perkara yang dimajukan
dalam tingkat verzet dan banding, sedangkan untuk perkara yang dimajukan pada
tingkat kasasi mengalami kesukaran berhubung dengan syatar-syarat beracaranya
berlainan dengan verzet dan banding.
b. Karena
dipergunakan kata “aturan” yang paling ringan bagi terdakwa, dan tidak
mempergunakan undang-undang yang paling ringan, hal itu berarti menyempit
hanyalah menunjuk kepada ketentuan yang tertentu saja, sehingga bila perlu (?)
dimungkinkan adanya beberapa ketentuan yang ringan yang diambil dari
undang-undang yang baru maupun yang lama karena kedua-duanya menguntungkan bagi
terdakwa.
A. Asas- Asas yang Tidak Tertulis dalam
Hukum Pidana
Asas
yg tidak tertulis atau tidak dirumuskan dengan tegas dalam KUHP akan tetapi
telah dianggap berlaku di dalam praktik
hukum pidana yaitu:
a.
Tidak dipidana tanpa kesalahan (geen
straf zonder schuld).
b.
Alasan pembenar
(rechtsvaardigingsgronden).
c.
Alasan pemaaf (schulduitsluitingsgronden).
d.
Alasan penghapus penuntutan
(onvervolgbaarheid).
B. Kedudukan Asas Hukum Tidak Tertulis
dalam Praktik Hukum Pidana di Pengadilan.
Isi pasal 44 KUHP yg menentukan tentang
tidak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan yg tidak dapat “dipertanggungjawabkan”
kepadanya, disebabkan karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau terganggu karena
penyakit
Mengenai kedudukan norma hukum di luar
Undang-undang ini ada dua pandangan yaitu:
a.
Bahwa hakim harus melaksanakan
undang-undang, kecuali apabila suatu ketentuan dari undang-undang memberikan ketegasan untuk tidak perlu
dijalankan atau boleh menyimpang dan apabila tidak ada ketegasan demikian terhadap
hal-hal baru yg timbul kemudian sebagai perubahan hukum harus ditempuh jalan
dengan memperbanyakdengan undang-undang baru.
b.
Bahwa hakim pada waktu menjalankan tugas
untuk keadilan, tidak hanya mempertimbangkan aturan undang-undang, akan tetapi
dapat menjalankan asas hukum tidak tertulis yg menjadi dasar isi keputusannya meskipun hal itu tidak dengan
tegas tercantum dalam undang-undang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar