Selasa, 21 Januari 2014

Delik Adat



BAB I
PENDAHULUAN


1.      Latar Belakang Masalah
Manusia adalah mahluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri, dengan kata lain memerlukan orang lain untuk melengkapi kehidupannya. Maka daripada itulah manusia hidup berkelompok dalam berbagai macam suku yang memiliki budaya, adat istiadat ataupun kebiasaan daerahnya masing-masing.Yang mana kebuadayaanya itu adalah hasil turun temurun dari nenek moyang mereka untuk menjaga adat kebudayaannya agar tetap utuh.
Budaya-budaya yang dianut, tentunya diyakini oleh segolongan manusia dan mendarah daging dalam kehidupannya untuk selalu melaksanakan apa yang dimiliki oleh kebudayaannya sendiri. Dan tentu saja di dalam kebuadayaan itu terdapat sebuah adat istiadat yang mengatur kehidupan manusia, baik itu adalah sebuah larangan, perintah dan kebolehan terhadap sesuatu.
Dalam makalah ini akan dibahas tentang “DelikAdat”, yang mana mencakup sebuah adat yang di dalamnya terkandung beberapa macam unsur yang mengarah kepada larangan untuk melakukan sesuatu dalam suatu adat yang menganut hukum yang diyakininya.
Jika menggunakan hukum negara, makapenyelesaian pelanggaran yang terjadi di tengah-tengah masyarakat tentu sudah jelas melalui proses peradilan. Namun bagaimana jika diselesaikan secara hukum adat?


1



2.                Rumusan Masalah
a.         Apa pengertian delik adat?
b.        Apa jenis-jenis delik adat?
c.         Bagaimana penyelesaian delik adat?


3.    Tujuan
a.          Memahami pengertian delik adat.
b.         Mengetahui jenis-jenis delik adat.
c.          Memahami cara menyelesaikan delik adat




















2


BAB II

PEMBAHASAN





1.      Pengertian Delik Adat
Dalam kamus Umum Bahasa Indonesia:
-           Hukum adalah Peraturan yang dibuat oleh suatu kekuasaan atau adat yang dianggap berlaku oleh dan untuk orang banyak.
-          Adat adalah aturan (perbuatan) yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala.
-          Delik adalah peristiwa (perbuatan) yang dapat dihukum (karena melanggar undang-undang).
Delik adalah perbuatan yg tidak diperbolehkan dalam masyarakat (Van Vollen Hoven)
Delik adalah sesuatu yang mengakibatkan kegoncangan dalam neraca keseimbangan masyarakat (Ter Haar).
Delik adalah segala yang bertentangan dengan peraturan hukum adat merupakan perbuatan ILLEGAL & hukum adat mengenal upaya-upaya untuk memperbaiki hukum jika hukum itu diperkosa (Soepomo)




3

Soerojo Wignjodipoero berpendapat :
Delik adalah suatu tindakan yang melanggar perasaan keadilan & kepatutan yang hidup dalam masyarakat, sehingga menyebabkan terganggunya ketentraman serta keseimbangan masyarakat guna memulihkan kembali, maka terjadi reaksi-reaksi adat.
Meninjau dari beberapa pendapat tentang definisi dari Hukum Adat Delik, penulis memberikan arahan bahwa daripada Hukum adat delik adalah sesuatu larangan yang akan dihukum bagi yang melaksanakannya karena menggangu sebuah adat yang dimilki suatu golongan tertentu.
Pada dasarnya suatu adat delik itu merupakan suatu tindakan yang melanggar perasaan keadilan dan kepatuhannya yang hidup dalam masyarakat, sehingga menyebabkan terganggunya ketentraman serta keseimbangan masyarakat yang bersangkutan, guna memulihkan keadaan ini maka terjadilah reaksi-reaksi adat.
 Dari pernyataan-pernyataan di atas, dapat diambil suatu landasan untuk dapat menentukan sikap-tindak yang dipandang sebagai suatu kejahatan, dan merupakan petunjuk mengenai reaksi adat yang akan diberikan.
Dengan memperhatikan pandangan dari para pakar hukum di atas, maka dapat diadakan klasifikasi beberapa sikap-tindak yang merupakan kejahatan, yaitu:
a.       Kejahatan karena merusak dasar susunan masyarakat.
b.      Kejahatan terhadap jiwa, harta, dan masyarakat pada umumnya.



a.     Lahirnya Hukum Adat Delik



4

Berdasarkan teori beslissingen teer (ajaran keputusan) bahwa suatu peraturan mengenai tingkah laku manusia akan bersifat hukum manakala diputuskan & dipertahan-kan oleh petugas hukum. Karena manusia itu melakukan sebuah tindakan yang dianggap salah, maka dibuatlah hukuman bagi orang yang melakukan tindakan itu.Maka dari pada itulah lahirnya sebuah delik (Pelanggaran) adat adalah bersamaan dengan lahirnya hukum adat.
Hukum delik adat bersifat tidak statis (dinamis) artinya suatu perbuatan yang tadinya bukan delik pada suatu waktu dapat dianggap delik oleh hakim (kepala adat) karena menentang tata tertib masyarakat sehingga perlu ada reaksi (upaya) adat untuk memulihkan kembali. Maka daripada itulah hukum delik adat akan timbul, seiring berkembang dan lenyap dengan menyesuaikan diri dengan perasaan keadilan masyarakat.

b.     Ruang Lingkup Hukum Adat Delik

Peraturan UU tahun 1918  hukum delik adat berlaku di wilayah masing-masing :
Tahun 1918 berlaku KUHP, unifikasi hakim pidana berdasar Pasal 1 KUHP (asas legalitas), “Nullum delictum noela poena sine praevia lege poenali”
Konsekuensinya: Pengadilan Negeri (Landraad) tidak dapat lagi mengadili delik-delik adat.
Tahun 1951 berdasar Pasal 5 ayat (3) UU Darurat No.1 Tahun 1951 terdapat pengakuan kembali bahwa “hukum yang hidup” (hukum adat) dapat menjadi sumber hukum pidana tertulis (KUHP) selama tidak ada padanan/kesamaan pengaturan dalam KUHP.

5

Dalam pasal 1 ayat (3) RUU KUHP, menyatakan bahwa asas legalitas tidak boleh ditafsirkan sebagaimana “…mengurai berlakunya hukum yang hidup yang menentukan bahwa adat setempat seseorang patut dipidana bilamana perbuatan itu tdk ada persamaan dalam peraturan perundang-undangan”. Dengan kata lain RUU KUHP, tidak bersifat mutlak atau bersifat terbuka.



2.     Beberapa Jenis Delik Dalam Lapangan Hukum Adat
a.       Delik yang paling berat adalah segala pelanggaran yang memperkosa perimbangan antara dunia lahirdan dunia gaib serta segala pelanggaran yang memperkosa susunan masyarakat.
b.      Delik terhadap diri sendiri, kepala adat juga masyarakat seluruhnya, karena kepala adat merupakan penjelmaan masyarakat.
c.       Delik yang menyangkut perbuatan sihir atau tenung.
d.      Segala perbutan dan kekuatan yang menggangu batin masyarakat, dan mencemarkan suasana batin masyarakat.
e.       Delik yang merusak dasar susunan masyarakat, misalnya incest.
f.       Delik yang menentang kepentingan umum masyarakat dan menentang kepentingan hukum suatu golongan famili.
g.      Delik yang melanggar kehormatan famili serta melanggar kepentingan hukum seorang sebagai suami.
h.      Delik mengenai badan seseorang misalnya melukai.

Dari paparan di atas, beberapa jenis delik dapat digolongkan menjadi delik yang berat dan segala pelanggaran yang memperkosa dasar susunan masyarakat. Delik yang termasuk kriteria yang berat ini adalah segala pelanggaran yang menganggu keseimbangan antara dunia lahir dan




6

dunia ghaib. Delik yang termasuk pelanggaran memperkosa dasar susunan masyarakat diantaranya seperti pengkhianatan, pembakaran kampung, hamil tanpa nikah, melahirkan gadis, zina, pembunuhan, penganiayaan, pencurian dan lain sebagainya.


3.    Penyelesaian Hukum dan Petugas Hukum Untuk Perkara Adat
Dalam menyelesaikan delik adat, tidak ada perbedaan antara hukum perdata maupun pidana. Semua ditangani dengan cara yang sama dan oleh hakim yang sama. Hal ini berbeda dengan hukum barat yang membedakan antara peradilan pidana dan perdata.Penyelesaian delik adat juga tidak mengenal adanya asas legalitas sebagaimana Pasal 1 Ayat 1 KUHP, dimana menurut asas tersebut “suatu hukum diputuskan jika ada undang-undang yang mengatur”.Dalam hukum adat, keputusan dapat diambil dengan pertimbangan tertua /Pemimpin adat, tanpa harus ada aturan sebelumnya.Hal ini menunjukkan bahwa hukum adat bersifat terbuka, bukan seperti hukum baratyang bersifat tertutup.Selain itu, hukum adat lebih bersifat luwes, tidak paten seperti hukum barat sebagaimanatermaktub dalam pasal-pasalnya. Dalam hukum adat, seseorang akan dijatuhi sanksi tergantung latar belakang (Sengaja, Tidak sengaja, Terpaksa) dan akibat dari perbuatannya (Merugikan, Sangat Merugikan).
Memang hal ini secara praktik ada di hukum perdata barat, namun keluwesannya tidak sebagaimana hukum adat yang sangat kental mempertimbangkan latar belakang pelanggaran.
Menurut Undang-Undang Darurat No. 1/1951 yang mempertahankan ketentuan-ketentuan dalam Ordonansi tanggal 9 Maret 1935 Ataatblad No. 102 tahun 1955, Statblad No. 102/1945 maka hakim perdamaian desa diakui berwenang memeriksa segala perkara adat desanya, termasuk juga perkara delik adat. bahkan didalam kenyataan saat ini, hakim perdamaian desa biasanya memeriksa delik adat yang tidak juga sekaligus delik menurut KUH Pidana. Delik-delik adat yang juga merupakan delik menurut KUH Pidana, rakyat desa lambat laun telah menerima dan menganggap sebagai suatu yang wajar bila yang bersalah itu diadili serta dijatuhi hukuman oleh hakim pengadilan Negeri dengan pidana yang ditentukan oleh KUH Pidana.





7

Jadi, dengan adanya hukum pidana dan perdata barat sejatinya meringankan tugas hakim perdamaian adat, dimana masyarakat rela jika permasalahan yang terjadi diselesaikan dalam undang-undang tersebut, namun hal ini mengurangi substansi dari Undang-Undang Darurat No. 1/1951 yang mempertahankan ketentuan-ketentuan dalam Ordonansi tanggal 9 Maret 1935 Ataatblad No. 102 tahun 1955, Statblad No. 102/1945 maka hakim perdamaian desa diakui berwenang memeriksa segala perkara adat, termasuk juga perkara delik adat.


























8


BAB III

PENUTUP




Kesimpulan.
Delik adat merupakan pelanggaran pidana maupun perdata adat yang jenis-jenisnya dapat dikerucutkan ke dalam dua bagian. Yakni delik adat yang berat dan pelanggaran yang merusak tatanan masayarakat.
Dalam penyelesaian delik adat, diutamakan unsur perdamaian melalui hakim perdamaian desa selaku pengendali delik adat. Jika tidak tercapai perdamaian, maka kepala adat dapat memberikan sanksi sesuai latar belakang serta akibat pelanggaran tersebut






















9

DAFTAR PUSTAKA



Poerwardarminta, 1976,”KAMUS UMUM BAHASA INDONESIA”, Jakarta: PN BALAI PUSTAKA.
Ter Haar, BZN. 1978. Azas-azas dan Susunan Hukum Adat (Beginselen en Stelsel van Het Adatrecht) terj. Kng. Soegbakti Poesponoto, Jakarta : Pradnya Paramita.
Widnjodipoero, Soerojo, S.H., 1987, Pengantar dan Asas-Asas Hukum
Adat, Jakarta, Haji Masagung.
Soepomo, R, Prof, Dr, S.H., 1966, Bab-Bab Tentang Hukum Adat,
Jakarta, Universitas.





















10

Tidak ada komentar:

Posting Komentar